IMAM Syafi’i adalah salah satu ulama terbesar. Madzhabnya menjadi salah satu madzhab yang paling banyak digunakan umat Islam. Di Indonesia, madzhab Syafi’i menjadi madzhab yang paling populer.
Dalam perjalanannya Imam Syafi’i adalah ulama yang tak pernah mengenal kata menyerah untuk terus belajar, hingga ia mencapai derajat yang kita ketahui saat ini. Beliau bercerita tentang proses belajarnya, “Aku telah menghafalkan Alquran saat berusia tujuh tahun. Dan menghafal al-Muwaththa (buku hadits yang disusun Imam Malik) saat berusia sepuluh tahun.” (Abu al-Hajjaj al-Mizzi dalam Tadzhib al-Kamal, 24/366).
Menurut sebagian orang, alangkah beratnya masa kanak-kanak Imam asy-Syafi’i. Namun apa yang ia capai di masa kecil melahirkan orang sekelas dirinya di saat dewasa. Melalui dirinya, Allah SWT memberikan manfaat kepada umat manusia. Kemanfaatan berupa ilmu.
Tidak hanya untuk orang-orang di zamannya saja. Tapi manfaat tersebut terus terasa hingga jauh dari masa hidupnya. Hingga masa sekarang ini.
Imam asy-Syafi’i mengatakan, “Ketika aku telah menghafalkan Alquran (30 juz), aku masuk ke masjid. Aku mulai duduk di majelisnya para ulama. Mendengarkan hadits atau pembahasan-pembahasan lainnya. Aku pun menghafalkannya juga. Ibuku tidak memiliki sesuatu yang bisa ia berikan padaku untuk membeli kertas (buku untuk mencatat). Jika kulihat bongkahan tulang yang lebar, kupungut lalu kujadikan tempat menulis. Apabila sudah penuh, kuletakkan di tempayan yang kami miliki.” (Ibnu al-Jauzi dalam Shifatu Shafwah, 2/249 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 51/182).
Saat beliau mulai beranjak besar, antara usia 10-13 tahun, beliau butuh kertas untuk menulis apa yang telah dipelajari, tapi tidak ada uang untuk membeli kertas-kertas itu. Ia pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan kertas yang telah terpakai di satu sisi halamannya. Separuh lembar yang kosong itu, beliau gunakan untuk mencatat ilmu (Abu al-Hajjaj al-Mizzi dalam Tadzhib al-Kamal, 24/361).
Untuk apa usaha besar itu dilakukan oleh Asy-Syafi’i kecil, padahal ia masih terlalu muda? Jawabnya untuk ilmu yang menurutnya begitu berharga.
Ibnu Abi Hatim mendengar cerita dari al-Muzani, bahwasanya Imam asy-Safi’i pernah ditanya, “Bagaimana obsesimu terhadap ilmu?” Imam asy-Syafi’i menjawab, “Ketika aku mendengar suatu kalimat yang belum pernah kudengar, maka seluruh anggota badanku merasakan kenikmatan sebagaimana nikmatnya kedua telinga saat mendengarkannya.”
Beliau juga ditanya, “Bagaimana semangatmu dalam mendapatkannya?” Ia menjawab, “Sebagaimana orang yang bersemangat mengumpulkan harta dan pelit membaginya merasakan kenikmatan terhadap harta.”
Beliau ditanya pula, “Bagaimana engkau menginginkannya?” Ia menj wab “Aku menginginkannya sebagaimana seorang ibu yang kehilangan anaknya, tidak ada yang dia ingin kecuali anaknya.” Jawabnya.
Kita bisa tahu, apa yang beliau ucapkan ini bukanlah omong kosong yang tak bermakna. Kalau bukan dengan obsesi sebesar itu, semangat sehebat itu, dan keinginan sekuat itu, tentu ia tidak menjadi seperti Syafi’i yang kita tahu.
Derajat imam (pemimpin) dalam ilmu itu tidak diperoleh dengan santai-santai. Banyak hal yang harus dikorbankan. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya kedudukan keimaman dalam agama hanya didapatkan dengan kesabaran dan keyakinan.” (Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, 3/358).
Dan Allah SWT telah mengajarkan hambaNya sebuah doa:
“Dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).
Menurut Abdullah bin Abbas, maksud ayat ini adalah “Jadikan kami pemimpin-pemimpin yang diteladani dalam kebaikan.” (Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, 3/439).
Sumber: http://kisahmuslim.com/5340-kesungguhan-ulama-dalam-belajar-agama-12.html