IMAM Syafi’i adalah salah satu ulama terbesar di dunia. Namanya tetap terdengar meski beliau telah wafat beradab-abad yang lalu. Mazhabnya pun menjadi salah satu mazhab yang paling banyak digunakan umat Islam. Di Indonesia, madzhab Syafi’i menjadi mazhab yang paling populer.
Dalam perjalanannya Imam Syafi’i adalah ulama yang tak pernah mengenal kata menyerah untuk terus belajar, hingga ia mencapai derajat yang kita ketahui saat ini. Beliau bercerita tentang proses belajarnya, “Aku telah menghafalkan Alquran saat berusia tujuh tahun. Dan menghafal al-Muwaththa (buku hadits yang disusun Imam Malik) saat berusia sepuluh tahun.” (Abu al-Hajjaj al-Mizzi dalam Tadzhib al-Kamal, 24/366).
BACA JUGA: Hadiah untuk Imam Syafii dari Gurunya, Imam Malik
Untuk apa usaha besar itu dilakukan oleh Asy-Syafi’i kecil, padahal ia masih terlalu muda? Jawabnya untuk ilmu yang menurutnya begitu berharga.
Ibnu Abi Hatim mendengar cerita dari al-Muzani, bahwasanya Imam asy-Safi’i pernah ditanya, “Bagaimana obsesimu terhadap ilmu?” Imam asy-Syafi’i menjawab, “Ketika aku mendengar suatu kalimat yang belum pernah kudengar, maka seluruh anggota badanku merasakan kenikmatan sebagaimana nikmatnya kedua telinga saat mendengarkannya.”
Beliau juga ditanya, “Bagaimana semangatmu dalam mendapatkannya?” Ia menjawab, “Sebagaimana orang yang bersemangat mengumpulkan harta dan pelit membaginya merasakan kenikmatan terhadap harta.”
Beliau ditanya pula, “Bagaimana engkau menginginkannya?” Ia menjawab “Aku menginginkannya sebagaimana seorang ibu yang kehilangan anaknya, tidak ada yang dia ingin kecuali anaknya.” Jawabnya.
Kita bisa tahu, apa yang beliau ucapkan ini bukanlah omong kosong yang tak bermakna. Kalau bukan dengan obsesi sebesar itu, semangat sehebat itu, dan keinginan sekuat itu, tentu ia tidak menjadi seperti Syafi’i yang kita tahu.
BACA JUGA: Gaza; Tempat Lahir Imam Syafii dan Buyut Rasulullah Wafat
Derajat imam (pemimpin) dalam ilmu itu tidak diperoleh dengan santai-santai. Banyak hal yang harus dikorbankan. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya kedudukan keimaman dalam agama hanya didapatkan dengan kesabaran dan keyakinan.” (Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, 3/358).
Dan Allah SWT telah mengajarkan hambaNya sebuah doa:
“Dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).
Menurut Abdullah bin Abbas, maksud ayat ini adalah “Jadikan kami pemimpin-pemimpin yang diteladani dalam kebaikan.” (Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, 3/439). []