Oleh: St. Rajma Nur Sapayani
TAK banyak muslim yang tahu. Ada peristiwa penting apa terjadi di bulan Maret. Tepatnya tanggal 3 di tahun 1924. Sekitar 95 tahun yang lalu, sebuah tragedi besar yang membalik penuh tatanan hidup umat Islam.
Ini bukan tsunami atau bencana alam yang menyisakan korban jiwa. Namun malapetaka dahsyat. Runtuhnya negara adidaya yang telah berusia 14 abad lamanya, Daulah Khilafah Islamiyah.
Adalah Mustafa Kemal Ataturk, seorang militer Turki dari Salonica. Sayang, pribadinya tak seindah namanya. Begitu benci pada bangsa Arab, bukan tanpa alasan, karena memang darah yang mengalir di tubuhnya adalah Yahudi tulen. Yahudi Daunamah sebutannya. Yaitu kaum yahudi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Ia adalah orang yang paling bertanggungjawab atas runtuhnya Khilafah Islamiyah.
BACA JUGA: Pemuda Terbaik Pembawa Perubahan
Memang sejak kecil, jiwa pemberontak telah nampak. Sering ia bertengkar dengan gurunya di sekolah Fatimah. Hingga bapaknya memindahkannya ke sekolah yang memasukkan kurikulum Barat dalam pendidikannya. Saat usianya 17 tahun, dia masuk ke sekolah Tentara Monaster. Di sinilah, pengelanaannya dalam dunia politik dimulai dengan memasuki gerakan-gerakan bawah tanah sebagai antek-antek barat.
Biang kehancuran khilafah
Apa hubungan nasionalisme dengan kehancuran khilafah? Mengutip pakar sejarah Mahmud Syakir dalam bukunya Tarikh Islam Daulah Utsmaniyah, Najah menyebutkan bahwa sarana untuk menghancurkan kekuatan pemerintahan Islam di Turki waktu itu adalah dengan menghidupkan paham nasionalisme. Nasionalisme bukan hanya terbatas pengertiannya pada cinta tanah air saja. Lebih dari itu, adalah sebuah paham dimana individu memberikan kesetiaan tertingginya hanya pada negara kebangsaan.
Eropa dan anteknya paham betul kalau kekuatan umat Islam terletak pada persatuannya. Jika umat dikotak-kotakkan dalam suku dan bangsanya, Daulah akan melemah, terputus jaringannya dan akhirnya ambruk. Dimulai dengan mengadu domba Turki dan Arab. Kenapa mesti kedua bangsa itu?
Menurut Muhammad Abduh, dalam Al-Jam’iyah al-Islamiyah wa al-fikrah al-Qawmiyyah, Dar asyu-syuruq, 1414-1994, hal 53,54 karangan Dr. Muhammad Imarah. “Maka jika kedua kekuatan itu melemah, Eropalah yang menjadi kuat. Mereka sudah lama menunggu antara pertarungan umat Islam tersebut, kemudian berusaha untuk menguasai kedua bangsa tersebut atau salah satunya yang terlemah. Padahal waktu itu bangsa Arab dan bangsa Turki merupakan bangsa yang terkuat di dalam tubuh umat Islam. Oleh karenanya, akibat dari pertarungan kedua bangsa itu, jelas akan kekuatan Islam menjadi lemah sekaligus merupakan jalan pintas menuju kehancurannya”
Partai Persatuan dan pengembangan yang berpusat di Paris dalangnya. Mereka menghembuskan paham ketinggian bangsa Turki dibanding Arab. Hingga ada usaha melengserkan orang-orang Arab dari kementerian wakaf, kementerian dalam negeri, dan kementerian luar negeri untuk diganti dengan orang Turki saja. Bangsa Arab tentu saja berang dengan gerakan ini.
Dalam waktu singkat muncullah gerakan ”fanatisme arab”. Bermula dari pelataran bumi Syam, fanatisme ini berkembang dan membesar hingga ke berbagai kawasan. Di tambah beredarnya hadits palsu lagi menyesatkan ” Hubb al-wathan min al-iman (Cinta tanah air termasuk iman)”, maka pada saat perang dunia I pecah, 1914-1918, digunakanlah kesempatan ini oleh bangsa Arab untuk memisahkan diri dari khilafah Utsmaniyah.
Akibat pertikaian antara dua kubu ini. Rantai kemalangan yang sambung-menyambung semakin membelit kaum muslimin tanpa mereka sadari. Puncaknya pada 03 Maret 1924, penghapusan sistem Khilafah oleh Mustafa Kemal Ataturk yang sebelumnya berhasil merebut tampuk kekuasaan utsmaniah. Kemudian menggantinya dengan negara republik berasas sekularisme.
Tanpa Khilafah, Muslim tak ada apa-apanya
Seperti ikan yang dipaksa hidup di daratan kering, tanpa air sebagai habitatnya, begitulah kaum muslimin tanpa khilafah. Tak ada apa-apanya. Lenyapnya Khilafah berarti lenyap pula penjagaan Islam pada seluruh penerapan hukum syara’. Sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW, seorang Khalifah (Imam) adalah bagaikan perisai atau benteng bagi Islam, umatnya, dan negeri-negeri Islam. Sabda Nabi SAW :
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah ibarat perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An Nasa`i, dan Ahmad)
Teringat kembali, kisah seorang budak muslimah dari Bani Hasyim. Ia dilecehkan oleh seorang pemuda Romawi saat berbelanja ke pasar. Kainnya diikatkan pada paku, hingga saat berdiri nampaklah auratnya. Khalifah Al-Mu’tasim mendengar hal itu, langsung mengutus pasukan guna memberi pelajaran si lelaki usil. Tak tanggung-tanggung. Pasukan yang dikirim, ujungnya masih berada depan gerbang khalifah di Baghdad, sedang ujung lainnya telah sampai di Ammuriah, Turki. Begitulah penjagaan khilafah atas kehormatan warganya.
Coba bandingkan dengan perlakuan negara pada muslimah saat ini. Bukannya difasilitasi, polwan yang ingin taat menggunakan kerudung justru dilarang. Lokalisasi makin marak, perempuan yang menjajakan tubuhnya malah disebut ‘pahlawan’. Itu di Indonesia, di belahan bumi lain, katakanlah di Bumi Syam, palestina, dan sebagian negeri Timur Tengah. penindasan, pelecehan, pembantaian belumlah berakhir.
Betul kekata Imam Al- Ghazali : “…agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.” Tanpa khilafah, Islam memang masih ada. Buktinya, Indonesia mayoritas penduduknya muslim. Bahkan tak sulit menemukan majelis-majelis dzikir dan semacamnya. Akan tetapi, itu bukan Islam yang kekuatannya mampu menggetarkan musuh Allah. Islam hanya dipandang sebatas agama saja. ada untuk mengurusi ibadah ritual dan aspek moral. Tapi giliran ekonomi, pendidikan, politik, dan pengaturan publik, Islam nayatanya tak terpakai.
Janin Revolusi
Tidak keliru rasanya jika disebut ‘janin’, merujuk pada bibit yang mengandung kehidupan. Bukan lagi embrio, namun belum pantas juga disebut bayi kecil. Sebab Revolusi sejati, nyatanya belumlah terlahir. Revolusi yang berasaskan Aqidah Islam. Telah banyak gerakan sejak berakhirnya masa khilafah, abad 13 Hijriah, untuk melahirkan kembali ‘janin’ itu. Namun, thariqah(metode) yang ditempuh tidak jelas dan kabur. Ditambah hegemoni barat yang bercokol kuat sampai ke akar. Memang pernah ada harapan saat pergolakan timur tengah melanda. Tapi sebatas asa sebab tidak terpenuhinya dua unsur utama agar arahnya benar.
BACA JUGA: Perselisihan Dua Calon Khalifah
Pertama, menjadikan Islam, baik aqidah maupun syariahnya, sebagai panduan ideologis untuk mendirikan khilafah, yang akan menerapkan Islam secara utuh di dalam negeri dan menyebarkan Islam dengan jihad ke luar negeri.
Kedua, menolak secara total segala bentuk intervensi asing ke negeri-negeri Islam dan tidak minta bantuan kepada asing. Yang terjadi hanyalah perubahan sosok pemimpin, bukan perubahan sistem menjadi khilafah. Ada pula yang mengatasnamakan diri komunitas dendam 1924. Sebenarnya tidak salah, namun rasanya tidak tepat saja penggunaan kata dendam itu.
Walaupun memang penderitaan akibat keruntuhan Khilafah begitu terasa menyakitkan. Pembalasan dendam bukan sifat kaum muslimin. Maka mengenang kembali 03 Maret 1924, mari ubah energi dendam itu menjadi ikhtiar perjuangan yang lebih maksimal dari sebelumnya.
Sebab kisah kegemilangan dan keruntuhan khilafah bukan sebatas romantisme sahaja. Atau dongeng pengantar tidur untuk anak-anak kita kelak. Namun, ianya harus dijadikan pemantik. Pelecut semangat untuk lahirnya revolusi Islam hakiki. Wallahu a‘lam bi ash-shawab. []