FASE Pertama: Masa Shahabat dan Tabi’in
Allah ta’ala mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul dengan membawa ajaran Islam untuk seluruh umat manusia. Seruan tersebut dimulai di negeri Arab, dan kitab suci al-Qur’an pun diturunkan dengan bahasa Arab. Ajaran Islam dengan kitab suci al-Qur’an al-Karim yang berbahasa Arab ini hadir di tengah-tengah masa keemasan bahasa Arab. Syair dan sastra Arab di masa ini berada di puncak kegemilangan, dan kabilah-kabilah Arab biasa bersaing menunjukkan kepiawaian mereka dalam sastra Arab.
Di masa ini, orang-orang Arab bisa memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits tanpa kesulitan yang berarti, karena bahasa al-Qur’an dan al-Hadits adalah bahasa sehari-hari yang mereka gunakan dan telah mendarah daging dalam diri mereka. Mereka mengerti makna-makna lafazh dalam al-Qur’an dan al-Hadits, serta memahami gaya bahasanya. Oleh karena itu, mereka bisa mengambil hukum syara’ dari keduanya tanpa kesulitan.
Masa ini berlangsung selama masa shahabat dan tabi’in, atau hingga awal abad ke-2 hijriyah.
BACA JUGA: Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqih
Fase Kedua: Sebelum Masa Imam asy-Syafi’i
Setelah itu, negara Islam meluas. Berbagai bangsa masuk ke dalam Islam, seperti bangsa Romawi, Persia, India dan Barbar. Orang-orang Arab kemudian berbaur, berkumpul dan berkomunikasi dengan mereka. Akhirnya kemampuan berbahasa orang Arab melemah, karena dipengaruhi oleh masuknya lafazh, dialek, dan gaya bahasa non Arab.Akibatnya, sebagian besar orang Arab tidak terlalu mampu lagi memahami nash-nash syar’i. Mereka akhirnya memerlukan kaidah-kaidah bahasa untuk bisa memahami al-Qur’an dan al-Hadits sebagaimana pemahaman kaum muslimin di masa awal.
Mengatasi masalah yang muncul, para ulama kemudian menetapkan beberapa metode untuk menjelaskan tatacara menggunakan dan menarik kesimpulan (beristidlal) dari al-Kitab dan as-Sunnah sehingga menjadi hukum syara’ yang bisa diamalkan. Dari kumpulan kaidah kebahasaan dan kaidah syar’i di atas, tersusunlah ilmu ushul fiqih. Ilmu ini pertama kali tersusun pada abad ke-2 hijriyah.
Yang pertama kali mengumpulkan sebagian kaidah ini dalam sebuah kitab adalah Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan oleh Ibn an-Nadim di kitabnya, al-Fahrasat. Sayangnya, kitab Abu Yusuf ini tidak sampai ke kita.
Orang-orang syi’ah mengatakan bahwa yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang ushul fiqih adalah Imam Abu Ja’far Muhammad al-Baqir. Namun pendapat ini tidak punya dasar yang kuat.
Fase Ketiga: Masa Imam asy-Syafi’i (150 – 204 H)
Ulama-ulama sebelum asy-Syafi’i memang sudah membicarakan pembahasan ushul fiqih, sekaligus beristidlal dan saling mengkritik antar mereka. Namun, belum ada kitab yang disusun secara khusus yang menjadi rujukan mereka. Imam asy-Syafi’i lah yang pertama kali menulis sebuah kitab dalam bidang ushul fiqih yang sampai kepada kita, yaitu kitab ar-Risalah.
Kitab ar-Risalah ini memuat pembahasan tentang dalil-dalil ijmali, yaitu Kitab, Sunnah, Qiyas dan Ijma’. Kitab ini juga memuat pembahasan tentang kaidah-kaidah kebahasaan, dan tata cara penggunaannya dalam penggalian hukum-hukum syara’.
Ilmu ushul fiqih yang ditetapkan oleh asy-Syafi’i menjadi dasar dan standar yang kokoh untuk membedakan pendapat yang shahih dan yang tidak shahih, sekaligus menentukan apakah pendapat tersebut berasal dari syara’ atau bukan. Dengan metode ini juga lah asy-Syafi’i melakukan penggalian hukum-hukum syara’, yang kemudian tersusun menjadi fiqih madzhabnya, yaitu madzhab asy-Syafi’i, yang termuat di kitab beliau, al-Umm.
BACA JUGA: Kebutuhan Adanya Ahli Fiqih Di Masa Sekarang
Sebagai contoh, Imam asy-Syafi’i di kitabnya ar-Risalah telah menetapkan tingkatan dalil-dalil ijmali, dan menentukan derajatnya masing-masing, sebagaimana yang ia katakan, “Kami berhukum dengan al-Kitab dan as-Sunnah yang disepakati atasnya, yang tidak ada perbedaan pendapat tentang kedudukannya yang utama. Oleh karena itu, tidak ada qiyas ketika ada khabar (hadits).”
Salah satu ahli sejarah yang menyatakan bahwa asy-Syafi’i adalah orang yang pertama kali menulis buku tentang ushul fiqih adalah Ibn Khaldun. Dalam kitab Muqaddimah-nya, ketika membahas tentang ushul fiqih, beliau menyatakan, “Dan yang pertama kali menulis tentang ushul fiqih adalah asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu. Beliau mendiktekannya dalam risalahnya yang masyhur. Beliau berbicara tentang perintah dan larangan, bayan, khabar, nasakh, hukum ‘illat manshush pada qiyas, …”.
Fase Keempat: Masa Setelah Imam asy-Syafi’i
Pasca asy-Syafi’i, banyak ulama dan fuqaha yang kemudian melakukan pengkajian dan pendalaman terhadap ushul fiqih yang telah disusun oleh asy-Syafi’i. Mereka juga memberikan tambahan, memperbaiki, dan menyusunnya berdasarkan bagian-bagian tertentu agar pembahasan dalam ushul fiqih ini bertambah jelas dan terang. Dan upaya mereka ini tetap mengacu dan berdasar pada ushul fiqih yang telah ditetapkan oleh asy-Syafi’i.
Ushul fiqih yang disusun oleh asy-Syafi’i belumlah lengkap sebagaimana pembahasan ushul fiqih di masa sekarang. Kemudian ulama setelah beliau menyempurnakan bangunan ushul fiqih yang dimulai oleh asy-Syafi’i. Ada ulama yang mengikuti metode asy-Syafi’i secara terperinci, ada juga yang memasukkan kaidah-kaidah baru, dan ada juga yang menentang dan mengkritik sebagian kaidah yang telah disebutkan asy-Syafi’i.
Pembahasan ushul fiqih di masa ini hanya terbatas pada pembahasan syarah terhadap ushul fiqih asy-Syafi’i, tambahan beberapa kaidah baru, dan kritik terhadap sebagian kaidah. Belum membahas kajian ushul fiqih secara keseluruhan, seperti yang dikenal di masa sekarang.
Beberapa ulama yang menyusun kitab syarah terhadap ar-Risalah-nya asy-Syafi’i di masa ini adalah:
1. Syarah Abu Bakr Muhammad ash-Shairafi (w. 330 H), dikenal dengan nama Dala-il al-I’lam.
2. Syarah Abu Muhammad al-Qaffal asy-Syasyi (w. 365 H).
3. Syarah Abu Muhammad ‘Abdullah ibn Yusuf al-Juwaini (w. 438 H).
Beberapa ulama yang pertama kali menulis kitab yang berisi pembahasan ushul fiqih setelah asy-Syafi’i adalah:
1. Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab Tha’ah ar-Rasul, an-Nasikh wa al-Mansukh, dan al-‘Ilal.
2. Dawud azh-Zhahiri, dalam kitab Ibthal al-Qiyas, al-Khushush wa al-‘Umum, dan lain-lain. Beliau ini banyak melakukan kritik terhadap ushul fiqih asy-Syafi’i.
3. Muhammad at-Tirmidzi (w. 255 H), dalam kitab Itsbat al-‘Ilal asy-Syar’iyah.
Kitab-kitab di atas hanya membatasi diri pada pembahasan penyelesaian masalah-masalah yang diperselisihkan. Ada yang mengokohkan ushul fiqih asy-Syafi’i sekaligus membantah pendapat-pendapat yang menyelisihinya, ada juga yang menguatkan madzhab si penulis kitab sekaligus membantah madzhab asy-Syafi’i.
Fase Kelima: Masa Setelah Berkembangnya dan Meluasnya Madzhab-Madzhab Fiqih
Setelah itu, negara Islam semakin meluas, sampai Cina di timur dan Andalusia di barat. Warga negara Islam terdiri dari berbagai bangsa, dan berkomunikasi menggunakan berbagai bahasa. Dalam keadaan ini, kebutuhan umat terhadap keberadaan ulama yang mampu menjelaskan berbagai persoalan kepada mereka semakin terasa. Di masa ini juga kemudian ushul fiqih semakin berkembang, seiring berkembang dan meluasnya madzhab-madzhab fiqih.
Sebagai gambaran, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, para pengikut madzhab Syafi’i lebih fokus untuk melakukan syarah terhadap ushul fiqih asy-Syafi’i yang ada dalam kitab ar-Risalah. Sedangkan pengikut Madzhab Maliki menggunakan metode ushul fiqih asy-Syafi’i, namun mereka menambahkan ijma’ ahlil madinah, istihsan, mashalih mursalah, dan adz-dzarai’ sebagai dalil ijmali, yang ditolak oleh asy-Syafi’i.
Adapun madzhab Hanabilah, mereka menggunakan apa yang digunakan oleh asy-Syafi’i. Namun dalam hal ijma’, Imam Ahmad hanya menerima ijma’ shahabat, sedangkan asy-Syafi’i menerima ijma’ mujtahidin dari umat Islam di satu masa, tidak hanya membatasi pada masa shahabat. Setelah masa imam Ahmad, pengikut madzhab ini kemudian menerima kehujjahan ijma’ mujtahidin, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Muwaffiquddin ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 630 H) dalam kitabnya Raudhah an-Nazhir wa Jannah al-Munazhir fi Ushul al-Fiqh.
Adapun pengikut madzhab Abu Hanifah membuat sendiri ushul fiqih untuk menguatkan fiqih mereka. Mereka memasukkan istihsan dan ‘urf sebagai dalil ijmali, selain al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Kitab fiqih yang pertama kali ditulis oleh pengikut madzhab ini adalah Risalah al-Karkhi fi al-Ushul yang ditulis oleh Abu al-Hasan ‘Ubaidullah ibn al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H), kemudian kitab Ushul al-Jashshash karya al-Jashshash (w. 370 H). Metode mereka berbeda dengan metode yang dilakukan oleh Imam asy-Syafi’i.
BACA JUGA: Tajdid Ushul Fiqih Ala Al-Qaradhawi
Adapun pengikut madzhab Zhahiri, mereka menolak menggunakan qiyas, mereka hanya menggunakan zhahir nash. Madzhab ini didirikan oleh Dawud ibn Khalaf al-Ashfahani azh-Zhahiri. Salah satu ulama yang mengikuti metode zhahiri ini adalah Ibn Hazm al-Andalusi.
Sedangkan Syi’ah Imamiyah pengikut Imam Ja’far ash-Shadiq, sama seperti madzhab Zhahiri mereka juga menolak qiyas. Mereka juga membatasi penggalian fiqih hanya berdasarkan penggalian yang dilakukan oleh imam-imam mereka saja.
Jika dikaji lebih lanjut, maka akan terlihat bahwa madzhab yang empat dan selainnya dari kalangan ahlus sunnah menggunakan dua metode ushul fiqih, yaitu metode asy-Syafi’i yang dikenal sebagai metode mutakallimin, dan metode pengikut Abu Hanifah yang dikenal sebagai metode fuqaha.
Pembahasan secara khusus tentang perbedaan metode mutakallimin dan metode fuqaha insya Allah akan ditulis secara khusus. Semoga Allah memudahkan.
Bahan Bacaan:
Kitab al-Wadhih fii Ushul al-Fiqh karya Muhammad Husain ‘Abdullah
Web: Abufurqan.net
Facebook: Muhammad Abduh Negara