PAMER aurat bukan hanya terjadi pada masa sekarang ini. Tapi, sebelum masa yang sedang kita jalani, pada masa sebelumnya juga telah ada yang melakukan hal ini. Selain karena memang peradaban masa lalu itu sungguh berbeda, juga mereka belum mengenal aturan yang ditetapkan dalam ajaran Islam.
Cerita tentang manusia yang gemar mempertontonkan aurat adalah cerita yang barangkali hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Kelompok masyarakat yang tingkat peradabannya masih relatif rendah biasanya lebih banyak menampakkan bagian-bagian tubuhnya dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang peradabannya lebih maju. Orang-orang yang hidup terpencil di Irian Jaya dengan kotekannya setidaknya membuktikan hal itu. Atau sebagai contoh tambahan segelintir orang di kepulauan Mentawai juga masih lebih senang nudis ketimbang berbusana.
BACA JUGA: Aurat Lelaki Menurut Jumhur Ulama
Tetapi tentu saja bertelanjang bukan mutlak milik masyarakat yang tingkat peradabannya rendah. Pada zaman keemasan Romawi yang terkenal ketinggian peradabannya pun kecenderungan untuk memamerkan aurat tumbuh subur. Walaupun tentu konteksnya berbeda dengan masyarakat yang memang masih rendah tingkat peradabannya.
JW Draper, penulis buku “Sciences and Religion” (1874) memaparkan fenomena itu sebagai berikut:
Ketika kerajaan Romawi memiliki kekuatan perang yang tangguh dan kekuasaan politik yang luas serta mencapai budaya yang tinggi… ia menuruni tangga kerusakan akhlak, keruntuhan agama dan pendidikan moral ke tingkat yang paling rendah. … Orang Romawi telah menyalahgunakan kemewahan hidup mereka sehingga mereka menjadi manusia yang sangat sekuler dengan tingkah laku yang didorong hawa nafsu…
Meja makan mereka dihiasi dengan piring dan mangkuk terbuat dari emas dan perak yang berhiaskan mutiara lengkap dengan pelayan-pelayan yang berpakaian serba indah dan menggairahkan dan pelayan-pelayan wanita Romawi yang menimbulkan birahi serta para penyanyi dan penari-penari tak berbusana yang bersolek, yang tidak mempunyai masa malu…
Beberapa hasil karya yang dihasilkan oleh kebudayaan Yunani yang sangat memuja keindahan pun tidak menabukan aurat dipamerkan. Patung tanpa busana pada saat itu tidak dianggap sebagai pornografi. Kolosus, patung raksasa terbuat dari perunggu dan merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang terletak di pulau Rhodes di laut Aegea merupakan salah satu contoh. Patung itu menggambarkan sesosok laki-laki tanpa busana dengan detail tubuh yang benar-benar jelas.
Masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah juga mengenal tradisi telanjang. Pada saat melakukan upacara ritual thawaf laki-laki dan wanita berbaur menjadi satu dalam keadaan tanpa busana. Mereka kemudian berjalan mengelilngi Ka’bah yang sarat digantungi patung-patung atau berhala sesembahan mereka.
BACA JUGA: Runtuhnya Peradaban Akibat Aurat dan Syahwat
Walaupun tidak se-ekstrim saat melakukan ritual tersebut, dalam kehidupan sehari-hari wanita Arab juga menampakkan sebagian dari anggota tubuhnya. Penampakan aurat seperti ini kemudian dilarang oleh ajaran Islam.
Beberapa ayat al-Qur’an dan hadits secara tegas melarang wanita yang telah akil baligh untuk menampakkan auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Salah satu yang ingin ditumbuhkan oleh Islam dalam diri manusia adalah al haya’. Rasa malu untuk melakukan suatu perbuatan buruk (maksiat), termasuk menampakkan aurat di depan umum. []
Sumber: Ummi Wanita Berpolitik No 01/Xl Mei-Juni 1999/1420 H