ILMU hadits adalah ilmu yang membahas kaidah dan dasar-dasar yang dengannya bisa diketahui keadaan sanad dan matan hadits, apakah ia diterima atau tertolak. Dengan memahami ilmu ini, kita bisa mengetahui mana hadits yang bisa disandarkan ke Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang tidak. Jika suatu hadits dianggap benar berasal dari Rasul, maka hadits tersebut bisa dijadikan hujjah dan menjadi pondasi bagi amal kita, dan jika diragukan berasal dari Nabi atau bahkan ditetapkan bahwa hadits tersebut merupakan kedustaan atas nama Nabi, maka hadits itu tertolak, tidak bisa dijadikan hujjah.
Ilmu hadits, sebagaimana cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, tidak lahir langsung di masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengalami proses, dasar-dasarnya ada di masa turunnya wahyu, kemudian dirumuskan, disistematiskan dan kemudian dibukukan di masa-masa berikutnya.
Asas bagi ilmu hadits, terutama yang terkait riwayat dan penukilan informasi, terdapat dalam al-Qur’an al-Karim dan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Dalam al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman:
يا أيها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang pada kalian seorang fasiq membawa suatu berita, maka verifikasilah.” (al-Hujurat [49]: 6)
BACA JUGA: Tingkatan Hadits Dhaif
Dalam as-Sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نضر الله امرأً سمع منا شيئا فبلغه كما سمع؛ فرب مبلغ أوعى من سامع
Artinya: “Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dari kami, kemudian ia menyampaikan sebagaimana yang ia dengar, dan bisa jadi yang menyampaikan lebih sadar dari yang mendengar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2657. Beliau berkata: ini hadits hasan shahih.)
Ayat al-Qur’an dan Hadits di atas merupakan dasar keharusan verifikasi saat menerima informasi, tatacara untuk menentukan informasi mana yang bisa diterima dan yang tidak, serta kecermatan saat menyampaikannya kembali ke orang lain. Inilah standar ilmiah yang dimiliki oleh diin Islam, sejak masa awal lahirnya, dan kemudian terus dilestarikan oleh para pewaris Nabi dari masa ke masa.
Para shahabat menerima penukilan hadits, dan pada awalnya mereka tidak perlu mengecek siapa yang menyampaikan hadits tersebut, karena sudah mafhum bahwa yang menyampaikan tersebut adalah orang yang terpercaya, dan kebiasaan berbohong tidak menggejala di masyarakat. Namun hal ini berakhir setelah munculnya fitnah.
Setelah muncul masa fitnah -setelah terbunuhnya ‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu ‘anhu-, mereka kemudian mengecek siapa yang menyampaikan hadits kepada mereka. Di muqaddimah Shahih Muslim, dinukil pernyataan Ibn Sirin tentang hal ini, yaitu:
لم يكونوا يسألون عن الإسناد، فلما وقعت الفتنة قالوا: سموا لنا رجالكم، فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم، وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم
Artinya: “Dulu mereka tidak bertanya tentang isnad. Namun kemudian terjadi fitnah, dan setelah itu mereka berkata: sebutkan pada kami nama rijal kalian. Dan dilihat, jika rijalnya adalah dari ahlus sunnah, diambil haditsnya. Dan jika rijalnya termasuk ahli bid’ah, haditsnya tidak diterima.”
Ini menunjukkan kalangan salaf begitu berhati-hati menerima suatu informasi, apalagi yang terkait hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di masa itu fitnah berkembang, dan mulai bermunculan orang-orang yang berdusta atas nama Rasul untuk kepentingan pribadi atau fanatisme kelompok, sehingga para ulama kemudian memilah-milah informasi yang mereka terima. Kajian tentang sanad hadits pun berkembang.
Masih di muqaddimah Shahih Muslim, dinukil pernyataan Ibnul Mubarak yang menunjukkan betapa pentingnya kajian sanad hadits, yaitu:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Artinya: “Isnad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada isnad, maka setiap orang bebas berkata apa saja.”
Setelah masa fitnah dan munculnya kedustaan atas nama Rasul, kemudian berkembanglah ilmu al-jarh wa at-ta’dil, pembicaraan tentang rawi, mengetahui bersambung dan terputusnya sanad, mengetahui cacat yang tersembunyi, termasuk juga menunjukkan cela para perawi. Namun celaan terhadap rawi pada awalnya masih sedikit, karena sedikitnya rawi yang tercela.
Semakin lama, ilmu tersebut semakin berkembang, dan pembahasan dan celaan terhadap rawi semakin meluas, karena semakin banyaknya rawi yang tercela. Berkembang juga ilmu nasikh-mansukh, gharib hadits, tatacara menerima dan menyampaikan hadits, dan lain-lain.
BACA JUGA: 9 Hadits tentang Kesehatan dan Kebersihan
Kemudian pembahasan ini ditulis di kitab-kitab, namun belum tersendiri, masih bergabung dengan ilmu lainnya. Hal ini misalnya terdapat pada kitab al-Umm dan ar-Risalah karya Imam Nashirus Sunnah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i al-Muthallibi rahimahullahu ta’ala (w. 204 H) -semoga Allah ta’ala mengumpulkan kita dengan beliau di jannah-Nya kelak-.
Di masa berikutnya, ilmu ini terus berkembang, berbagai istilah telah dibakukan, dan telah dibangun dasar-dasarnya secara mandiri dan terpisah dengan cabang ilmu lainnya. Di abad ke-4 hijriah dimulailah penulisan ilmu ini secara tersendiri, terpisah dari cabang ilmu lainnya. Ulama pertama yang menulis kitab ini secara tersendiri adalah al-Qadhi Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) dengan kitabnya ‘al-Muhaddits al-Fashil Bayna ar-Rawi wa al-Wa’i’.
Setelah itu penulisan ilmu ini dalam kitab-kitab terus berkembang , dan masih dilakukan sampai saat ini.
Referensi
1. Taysir Mushthalah al-Hadits karya Syaikh Mahmud ath-Thahhan
2. Muqaddimah Shahih Muslim karya Imam Muslim
3. Sunan at-Tirmidzi karya Imam at-Tirmidzi
Facebook: Muhammad Abduh Negara