TERKADANG, seorang insan memiliki keinginan untuk berbuat maksiat. Ini merupakan hal wajar, karena berbagai tabi’at penciptaan yang terdapat di dalamnya, berupa kelemahan, jiwa yang senantiasa memerintahkan kepada kejelekan, serta ketidakma’suman dari kesalahan. Semua ini berpotensi besar untuk munculnya keinginan berbuat maksiat. Jika keinginan tersebut dilakukan, sudah pasti dihitung dosa oleh Allah. Lalu bagaimana jika tidak jadi dilaksanakan?
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w.676 H) menjelaskan, bahwa seorang yang memiliki keinginan untuk berbuat kejelekan dibagi menjadi dua :
1). Seorang yang hatinya telah berazam ( memiliki keinginan kuat) untuk melakukan suatu kemaksiatan dan jiwanya telah memutuskan untuk melakukannya (sudah mantap dan tetap hal itu pada jiwanya). Maka orang seperti ini telah berdosa dengan keinginan dan keyakinannya tersebut ,walaupun belum atau tidak jadi melakukannya. Ini merupakan pendapat Imam Qadhi Abu Bakar bin Thayyib –rahimahullah-, bahkan merupakan madzhab dari mayoritas ulama’ salaf dari kalangan ahli fiqh dan ahli hadits.
BACA JUGA: Stop Maksiat Going to Taat
Imam An-Nawawi –rahimahullah- menyatakan :
فَقَالَ الْإِمَامُ الْمَازِرِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ مَذْهَبُ الْقَاضِي أَبِي بَكْرِ بْنِ الطَّيِّبِ أَنَّ مَنْ عَزَمَ عَلَى الْمَعْصِيَةِ بِقَلْبِهِ وَوَطَّنَ نَفْسَهُ عَلَيْهَا أَثِمَ فِي اعْتِقَادِهِ وَعَزْمِهِ
“Imam Al-Maziri –rahimahullah- berkata : madzhab Al-Qadhi Abu Bakar bin Ath-Thayyib, sesungguhnya seorang yang telah berniat kuat dengan hatinya untuk melakukan maksiat dan telah mempersiapkan dirinya/mengambil keputusan untuk itu, maka dia berdosa di dalam keyakinan dan keinginan kuatnya itu.
Dalil dalam hal ini sangat banyak, diantaranya firman Allah :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” [QS. An-Nuur : 19 ].
Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رَحِمَهُ اللَّهُ عَامَّةُ السَّلَفِ وَأَهْلُ الْعِلْمِ مِنَ الْفُقَهَاءِ وَالْمُحَدِّثِينَ عَلَى مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ
“Al-Qadhi ‘Iyyadh –rahimahullah- berkata : Kebanyakan salaf dan ahli ilmu dari kalangan ahli fiqh dan ahli hadits di atas pendapat Al-Qadhi Abu Bakar.”
Jika orang ini tidak jadi melakukannya karena takut kepada Allah, maka dia akan mendapatkan pahala darinya. Adapun jika karena ada sebab lain seperti karena kepergok dan yang semisalnya, maka tidak mendapatkan pahala.
2). Terlintas dalam pikiran seseorang untuk berbuat maksiat tanpa adanya istiqrar (berdiam/menetap) di dalam jiwanya untuk kemudian mengambil keputusan atau mempersiapkan diri untuk melakukannya. Ini dinamakan al-hamm. Maka yang seperti ini belum dicatat sebagai dosa, sampai dilakukan.
Dalilnya hadits dari sahabat Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
قَالَتْ الْمَلَائِكَةُ: رَبِّ ذَاكَ عَبْدُكَ يُرِيدُ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً.فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فلَا تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا.فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَهُ مَالَمْ يَعْمَلْهَا.فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا , إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ.
“Malikat berkata : Wahai Rabbku, ini hamba-Mu ingin melakukan suatu kejelekan. Maka Allah berkata : Apabila hambaku ingin melakukan satu kejelekan, maka janganlah kalian menulisnya untuknya sampai dia melakukannya. Maka aku mengampuninya untuknya selama belum dilakukan. Jika telah dilakukan, maka tulislah ia semisalnya (maksudnya, satu kejelekan dihitung satu). Jika dia meninggalkannya karenaku, maka tulislah ia sebagai satu kebaikan baginya. Dan jika dia ingin melakukan suatu kebaikan, lalu belum dia lakukan hal itu, maka tulislah satu kebaikan baginya. Jika dia lakukan hal itu, maka tulislah ia sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat baginya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim ].
BACA JUGA: Apakah Ada Kaffarah dalam Nadzar Maksiat?
Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
وَيُحْمَلُ مَا وَقَعَ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ وَأَمْثَالِهَا عَلَى أَنَّ ذَلِكَ فِيمَنْ لَمْ يُوَطِّنْ نَفْسَهُ عَلَى الْمَعْصِيَةِ وَإِنَّمَا مَرَّ ذَلِكَ بِفِكْرِهِ مِنْ غَيْرِ اسْتِقْرَارٍ وَيُسَمَّى هَذَا هَمًّا
“Adapun kejadian di dalam hadits-hadits ini dan yang semisalnya dibawa kepada kemungkinan bahwa hal itu bagi seorang yang belum mempersiapkan dirinya untuk maksiat. Akan tetapi hanyalah sesuatu yang lewat dipikirannya tanpa menetap (di dalam jiwanya). Ini dinamakan dengan al-hamm.”
Demikianlah rincian dalam masalah ini. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita sekalian. Barakallahu fiikum. []
Facebook: Abdullah Al Jirani
Referensi: [Syarah Shahih Muslim : 2/151 cetakan Dar Ihyaut Turats Al-‘Arabi tahun 1392 H]