Oleh: Zulfa Rahmatina,
Mahasiswi Psikologi. Pecandu literasi. Pencinta pelangi.
JODOH. Jika waktu datangnya serupa hujan; seringkali ditunggu, atau bahkan muncul dengan tiba-tiba tanpa undang sapa. Maka jodoh itu sendiri biarlah disejajarkan bagai petrichor; ia membawa syahdu syukur yang sama. Ia menyeruakkan haru di rongga. Ia selalu tak pernah salah tempat, dan tiba pada waktu yang tepat.
Barangkali hingga detik ini, kita masih bertanya-tanya. Siapa, kapan dan di manakah kita akan dipertemukan? Kita lalu tak henti menduga, berandai, berjika-jika …
Jika kita tahu kapan masa itu akan tiba. Jika saja sebelumnya kita sudah saling mengetahui, mengenal satu dengan yang lainnya. jika ternyata, masing-masing kita adalah nama yang tersebut dalam doa. Jika saat itu kita mengerti, tentang arti sapa-bincang ringan yang lalu lenyap oleh bergulirnya hari adalah pertanda.
Jika kita paham, bahkan pun kesempatan kita untuk hanya saling mengetahui nama adalah juga rangkaian skenario dari Allah. Jika ternyata, perjumpaan dan tatap mata yang tak sengaja itu adalah penegasan akan takdir berikutnya. Bukankah semuanya akan terasa menyenangkan?
Kita tak harus berlelah-lelah bertanya. Kita tak harus berperih-perih menanti datangnya perjumpaan yang bahkan tidak kita ketahui kapan waktunya. Kita tak perlu tersiksa dalam rindu dan keterjarakan yang tidak kita ketahui seberapa panjang dan jauhnya. Tapi cinta bukanlah ketergesaan.
Dan bongkah hati ini terkadang terlalu tergesa. Sibuk merangkai-rangkai jalan cerita. Sibuk menyusun keping-keping kejadian. Sibuk berharap; kembang mekar ketika rasa semu menyapa, layu jika hempas di ujung masa. Kita lalu lupa, ada sekeping hati lain yang sedang berpayah-payah menjaga.