Oleh: Shinta Wahyu
ABDILLAH menyisir barisan akhwat yang mengantre untuk mengambil alas kaki dari raknya, dari kejauhan. Mencari-cari seseorang berhijab ungu muda dan menyematkan bros mutiara di dadanya. Itu dia! Abdillah melihatnya sekilas, lalu menunduk.
“Sudah lihat?” Surya menyikut lengannya.
“Masya Allah. Sudah,” katanya sambil berjalan menuju area parkir.
“Jadi bagaimana?” Surya mengejar.
“Istikharah dulu kan?” Pertanyaan setengah menghardik terlontar begitu saja dari ikhwan yang telah berusia matang itu.
“Lebih cepat lebih baik. Apalagi yang kamu ragukan?” Surya yang duduk di jok belakang, terus memburu sahabatnya itu.
“Ingat ya, dia itu dalam pinangan saudara kita.”
“Sudah dibatalkan.” Surya ngotot.
Abdillah memilih diam, mendengarkan ustadz muda itu berceramah tentang latar belakang Aini, sang gadis berhijab ungu muda yang kini tersekap di ruang imajinasinya. Diam-diam.
***
Aini mengaduk teh dalam cangkir-cangkir di atas nampan.
“Ingat ya, yang di gelas ini teh tanpa gula. Berikan untuk pemuda yang berkopiah abu-abu. Jangan keliru!” pesan ibunya.
“Iya, Bu.”
Aini membawa nampan itu ke ruang tamu, dimana ayah dan tiga orang tamunya sedang bercengkerama. Saat ingin menyajikan masing-masing cangkir, perempuan ayu itu kebingungan sebab ada dua pemuda berkopiah abu-abu.
“Maaf, yang tidak pakai gula untuk siapa?” cemas bila keliru, dia nekat bertanya.
“Dia, Abdillah.” si kopiah abu-abu satu menunjukkan, “Nama saya Surya.” sambungnya. Abdillah hanya tersenyum canggung.
“Oh ya, ini putri pertama saya, Nak. Namanya Aini.” Ayahnya mengenalkan.
Setelah meletakkan semua cangkir teh, Aini berlalu kembali ke belakang.
“Sudah tahu orangnya? Cangkirnya tidak tertukar kan?” tanya Ibu.
“Ada dua yang berkopiah abu-abu, Bu. Yang satu Surya, satu lagi Abdillah.”
“Bukan itu jawabannya.” kening ibu berkerut, “kamu mengerti kan maksud ibu?” goda beliau. Sesaat kemudian ibu dan anak itu tertawa kecil.
***
Ibu dan Ayah terus mendesak Aini untuk membuka hati. Sejak batalnya rencana pernikahan dengan seorang pengusaha muda bernama Fatih, Aini menutup diri. Tak dipungkiri, kejadian itu membuatnya malu dan merasa rendah diri. Namun semenjak kehadiran Abdillah, ibarat hujan di penghujung kemarau, mawar di hati Aini bersemi kembali. Aroma tanah basah yang disukainya, berpindah ke dataran kalbu gadis itu.
“Ai, ada tamu.” wajah ibu tampak pias, berdiri di ambang pintu kamarnya yang bernuansa ungu.
“siapa Bu?” Rasa penasaran, malu, bahagia, harap, bergumul di hatinya. Namun rasa cemas mendominasi, demi melihat ekspresi ibunya.
“Kamu lihat saja sendiri.”
Aini menghambur ke luar kamar. Dari balik tirai manik-manik yang membatasi ruang tamu dengan ruang keluarga, dia terbelalak melihat tamu yang duduk di sofa bersama ayahnya. Aini berdiri terpaku. Kaku. Ibu menuntunnya ke sofa. Gadis itu duduk mematung diapit kedua orang tuanya.
“Dik, masihkah kamu bersedia menerimaku? Aku ingin melanjutkan yang tertunda, menghalalkanmu.” Fatih memohon, “aku telah menyelesaikan semua masalah yang pernah menghambat niat kita.” lanjutnya.
“Bagaimana Nak?” tanya Ayah. Namun Aini bergeming. Badannya terasa membeku dan lidahnya kelu. Semua kesan buruk dan rasa kecewa terhadap pemuda gagah itu luruh begitu saja.
“Kalau tidak setuju, kamu berhak menolak Nak.” Ibu mengusap punggung putri kesayangannya. Namun Aini hanya termangu.
“Pak, Bu, saya mohon restuilah kami. Ijinkan saya menebus semua kesalahan masa lalu itu.” bergetar suara Fatih untuk memohon, “bukankah diamnya seorang wanita itu berarti iya?”
” Jangan pernah menyakitinya lagi.” Ayah mendesis pelan.
Sementara di luar rumah, dua tamu menghentikan langkah melihat sebuah mobil terparkir di halaman.
“Kamu tahu itu mobil siapa, Sur?” tanya Abdillah. Temannya mengangguk.
“Lalu bagaimana?” Surya bertanya dengan hati dirundung dilema. Mencemaskan perasaan teman baiknya itu.
“Kita pulang sekarang! pantang bagi kita membeli atas belian orang lain. Mungkin memang kami tidak berjodoh. Fatih lebih tepat bagi Aini.” ada nada terenyuh pada kalimat yang terlontar dari pemuda sholeh itu. Raut wajahnya sendu.
***
Aini menyusuri rak alas kaki, mencari sepatu flatnya. Dia tak menyadari sepasang mata menatapnya sayu. Setelah menemukan dan memakai sepatunya, Aini bergegas. Suaminya telah menunggu di area parkir.
“Aku duluan ya, Assalamu alaikum.” Senyum sumringah menghiasi bibirnya saat berpamitan dengan salah satu Akhwat. Tak sengaja tatapannya bertumbuk dengan sepasang mata sayu di ujung teras. Jantungnya berdegub kencang, dan pemilik sepasang mata itu pun tersenyum tipis dan salah tingkah. Aini mempercepat langkah. Namun sekeping puzzle hatinya tertinggal di sana. []