HAID menurut bahasa artinya genangan air.
Adapun menurut syari’at , haidh adalah “darah yang keluar dari dasar rahim wanita” dalam waktu-waktu tertentu yang bukan disebabkan oleh penyakit atau gangguan, tetapi itu merupakan kebiasaan yang Allah tetapkan pada wanita, Allah menciptakannya di dalam rahim untuk persediaan makanan bagi bayi semasa di dalam kandungan, lalu ia akan berubah menjadi susu setelah anak itu dilahirkan.
Maka apabila seorang wanita tidak sedang mengandung, dan juga tidak sedang menyusui darah ini tetap ada dan tidak ada penggunaannya, maka ia akan keluar pada waktu-waktu tertentu yang dikenal sebagai kebiasaan wanita atau menjadi rutinitas bulanan.
UMUR WANITA MENGALAMI HAIDH
Menurut kebiasaan, haidh terjadi pada wanita sekurang-kurangnya mulai umur 9 tahun sampai menjelang 50/ 60 tahun.
Allah berfirman:
وَٱلَّٰٓـِٔى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔى لَمْ يَحِضْنَ ۚ
Dan Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. At-Thalaq: 4)
Hal Yang Dilarang Saat Haidh
1. Diharamkan berjima’ (berhubungan badan)
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَيَسْتَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang Allah perintahkan kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
BACA JUGA: Badannya Wanita Haid Itu suci
Dibolehkan bagi suami untuk bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh selain jima’. Berdasar sabda Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam:
صْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ.
“Lakukanlah apa saja (kepada isteri kalian) kecuali nikah (HR. Muslim)
2. Dilarang puasa dan shalat
Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam shallAllahu `alaihi wasallam
اليس إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ لَمْ تُصَلّ وَلَمْ تَصُمْ؟
“Bukankah apabila seorang wanita sedang haidh ia tidak mengerjakan shalat dan tidak juga berpuasa?
Apabila telah suci dari haidh, ia wajib mengqadha (membayar) puasanya, akan tetapi ia tidak perlu mengqadha shalat, karena ‘Aisyah pernah berkata,
كنا نَخَيْضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَكُنَّا نُؤْمَرُ نَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.
“Kami (para wanita) mengalami haidh pada masa Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam ,, lalu kami diperintahkan untuk membayar (mengqadha) puasa dan tidak diperintahkan untu mengqadha shalat.” (Muttafaq ‘alaihi)
3. Dilarang menyentuh mush-haf (al-Qur-an) secara langsung tanpa (alas)
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidaklah menyentuhnya kecuali orang-orang yang sucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 79)
Sedangkan untuk membacanya Imam Nawawi dalam kitab attibyan membolehkan asalkan dalam hati (tanpa menyentuh/ boleh dengan memakai sarung tangan).
Namun mayoritas Imam Mazhab tidak membolehkan.
4. Wanita yang sedang haidh diharamkan melakukan thawaf di Ka’bah.
Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam . bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhaa ketika ia haidh:
“Lakukanlah olehmu seperti apa yang dilakukan oleh orang yang sedang haji, kecuali janganlah engkau thawaf di Ka’bah hingga engkau suci!” (Muttafaq ‘alaihi)
5. Wanita yang sedang haidh dilarang berdiam diri di masjid,
Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam:
إِنَّ الْمَسْجِدَ لَا يَحِلُّ لِحَائِضِ وَلَا جُنُبٍ.
“Sesungguhnya masjid itu tidak halal bagi orang yang sedang haidh dan orang yang sedang junub (berhadas besar).” (HR. Ibnu Majah)
Namun ada dalil lain yang memperbolehkan selama mempunyai hajat dan tidak mengotorinya.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa, ia berkata, “Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam shallallahu `alaihi wasallam
bersabda:
نَاوِلِينِي الْحُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضُ فَقَالَ: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ بِيَدِكِ.
‘Ambilkan aku sorban dari masjid!’ Aku pun berkata: ‘Aku sedang haid’ Lalu beliau . bersabda, shalallahu bersabda: “Sesungguhnya haidhmu itu bukan di tanganmu.” (HR. Jama’ah kecuali al-Bukhari (I/140)
Lama masa haidh
Menurut ulama Syafi’iyah, waktu minimal lamanya haid adalah sehari semalam. Umumnya wanita mengalami haid adalah enam atau tujuh hari. Sedangkan waktu maksimal bagi wanita mengalami haid adalah lima belas hari.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Salim Al-Hadrami dalam Matan Safinah An-Najah. Lama haid itu sehari semalam juga disebutkan dalam madzhab Hambali seperti dalam Zaad Al-Mustaqni’ bahwa waktu lamanya haid paling minimal adalah sehari semalam.
PENJELASAN TENTANG HUKUM ‘SHUFRAH’ DAN ‘KUDRAH’ (CAIRAN KEKUNING-KUNINGAN DAN CAIRAN KERUH)
Shufrah yaitu cairan seperti nanah kekuningan, dan kudrah yaitu cairan seperti air yang keruh.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat yakni,
1. cairan yang keluar setelah haidh tidak dihukumi darah haidh lagi
Dari Ummu Atiyah radhiallahu’anha:
كنا لا نعد الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئا
“Dahulu kami tidak menganggap apapun cairan keruh (kurang) dan kekuning-kuningan (sufrah) setelah masa suci.”
HR. Bukhori, 320. Abu Dawud, 307. Nasa’I, 368. Ibnu Majah, 647 redaksi Abu Daud.
BACA JUGA: Hukum Suami Menggauli Istri yang Sedang Haid
2. Masih dihukumi darah haidh
Berdasarkan,
“Mereka bertanya tentang shalat (jika keluar cairan seperti ini). Kemudian (Aisyah) mengatakan kepada mereka, “Jangan anda semua terburu-buru (shalat) sampai anda semua melihat lendir putih. Yang beliau maksudkan hal itu suci dari haid.”(HR Bukhari)
Pendapat ini diambil mayoritas Imam Mazhab.
Tanda berakhirnya Haidh
1. Keluarnya cairan putih yang mengikuti haidh menyerupai cairan warna kapur, terkadang juga tidak berwarna putih, dan terkadang warnanya berbeda pada beberapa keadaan wanita.
2. Tanda kering, (untuk mengetahuinya) dengan memasukkan kain atau kapas ke kemaluannya, lalu apabila dikeluarkannya kering dan tidak ada sesuatu, baik berupa darah atau kudrah atau shufrah.
YANG HARUS DILAKUKAN WANITA AKHIR HAIDHNYA.
Di akhir haidhnya, seorang wanita diwajibkan mandi dan berniat untuk mensucikan seluruh badannya, berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam ْ
“Maka apabila datang bulan (haidh), tinggalkanlah shalat, dan bila haidh telah berlalu/selesai, maka mandilah dan shalatlah!”
Caranya:
Hendaklah dalam mandinya itu ia berniat mengangkat hadats besar atau bersuci untuk shalat, dan sebagainya dengan tujuan yang sama. Kemudian بسم الله (dengan menyebut Nama Allah) selanjutnya mandi dengan meratakan air ke seluruh badan, dan alirkan air ke pokok rambut kepala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam al-Fataawaa (XXII/434): “Jumhur ulama seperti Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat, apabila wanita yang haidh telah suci di akhir siang (waktu ‘Ashar) maka ia harus shalat Zhuhur dan ‘Ashar berbarengan.
Dan apabila ia telah suci di akhir waktu malam (waktu ‘Isya’), maka ia harus shalat Maghrib dan Isya berbarengan, sebagaimana yang dinukil (diriwaya dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah dan ‘Abbas, karena menjadi satu waktu dalam dua sholat ketika adanya udzur (ada halangan).
Maka apabila wanita itu telah suci di akhir siang maka waktu Zhuhur tetap ada, dan ia harus melaksanakan shalat Zhuhur sebelum shalat ‘Ashar
Dan apabila ia telah suci di akhir waktu malam maka waktu Maghrib masih tetap ada untuk udzur tersebut dan ia harus melaksanakan shalat Maghrib sebelum shalat ‘Isya’.”(ijtihad para sahabat)
BACA JUGA: Kenali, 6 Warna Darah Haid
Adapun apabila telah masuk waktu shalat, la mengalami haidh atau nifas sebelum ia mengerjakan shalat, maka menurut pendapat yang lebih kuat, ia harus mengqadha (membayar) shalat yang ia tinggalkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam masalah ini: “Adapun dalil yang paling jelas dari madzhab Abu Hanifah dan Imam Malik, bahwa harus mengqadha (membayar) shalat, karena mewajibkan adanya perintah yang baru.”
Dan di sini tidak ada perintah yang mengharuskan untuk menggadha, karena wanita tersebut telah men- ta’khir (menangguhkan) shalatnya dalam waktu yang dibolehkan, jadi ia tidaklah berlebihan (melalaikan).
Adapun orang yang sedang tidur atau lupa, jika ia bukan orang yang melalaikan, apa yang ia lakukan itu bukan qadha, bahkan ketika ia bangun dari tidurnya atau ketika itu ia teringat akan shalat, maka itulah waktu shalat baginya. “‘ (Majmuu’ fataawaa (XXIII/335) []
Sumber: Fikih Imam Mazhab, Matan abu Syuja’/ Fikih Imam Syafi’i, Fikih Wanita Syeikh shalih bin Fauzan.