DAPAT menyandang status sebagai pelajar di sekolah beken merupakan impian setiap orang yang hendak menimba ilmu. Mengapa begitu? Coba Anda tanyakan pada mereka. Yakin, semua akan mengangkat kelima jarinya. Sudah pasti sekolah tersebut terkenal, segudang prestasi telah diraih dan meningkat tajam setiap tahun.
Para staf pengajar menyeleksi ratusan pendaftar, mungkin hingga ribuan dengan telaten. Cara inilah guna menyaring siswa-siswi terpilih yang nantinya akan mencetak banyak penghargaan mengharumkan nama sekolah.
Sekolah beken lho ini… Ilmu diperoleh tidak cuma-cuma. Alias ‘nggak gretongan,’ bayar biaya masuk saja sudah sangat ‘wow.’ Belum pengeluaran tetek bengek lainnya setelah sah menjadi siswa maupun siswi di sekolah beken itu. Menyaingi gaji PNS masa kini. Lalu kenapa memilih sekolah nan mahal? Fasilitas mengenai pembelajaran dijamin, sangat menunjang KBM (Kegiatan Belajar Mengajar). Jika bersekolah di situ, secara umum Anda dicap anak pintar. Enak ya?
Mempertahankan prestasi jelas tidak mudah. Hidup ini seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Pun sama halnya dengan sekolah beken. Maka setiap Kepala Sekolah pada tahun jabatannya, dituntut untuk menghasilkan prestasi-prestasi yang telah ditentukan. Ini seriusan.
Jadi tugas Kepala Sekolah tak segampang prasangka. Selama menjabat, kepalanya akan dibuat pusing tujuh keliling agar siswa-siswinya dapat membawa pulang piala usai perlombaan.
Salah seorang guru diamanahkan membimbing anak didik untuk mengikuti perlombaan. Tentu terkena imbas. Peluh membanjiri, gigit jemari. Kemampuan anak di luar ekspektasi. Ah, tak mengapa. Nama sekolah mereka cukup menjual. Tapi bila memang kepepet, pembimbing kocar-kacir ke sana kemari. Hasut memakai cara tak terpuji. Peserta dari sekolah tak populer hanya menjadi piguran. Padahal kualitas bisa saja melebihi.
Saya ambil contoh, sebut saja namanya A. Ia mengikuti lomba cerpen tingkat ***, namun kalah. Anehnya naskah si A dipinta juri. Untuk apa? Diarsipkan? Kan bukan pemenang, berarti gak layak dong. Segudang tanya berkelindan dalam benak (buruk sangka). Alhasil dengan gagalnya di lomba itu, ia terpacu. Setahun kemudian menerbitkan sebuah buku. Salut.
Bila lomba dari tingkat rendah saja bau busuk tak terendus. Secara logika, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan perlombaan di tingkat yang lebih tinggi? Ah, permainan licik seakan lumrah.
Tipu-tipu.
Sangat disayangkan sang pemenang jadi korban PHP karena sesungguhnya juara bukanlah dirinya. Melainkan orang lain yang keberadaannya enggan dianggap. Semoga kita tidak termasuk dalam daftar manusia tergila-gila akan prestasi dunia. Satu, sudahkah kita menjadi hamba-Nya yang taat? [Jualiana Fadhilah]