Oleh: Patrianur Patria
MAYANGÂ berlari keluar dari rumahnya dengan bertelanjang kaki. Ia membuka mobil lalu masuk ke dalam dan menguncinya. Seorang lelaki berlari menyusul. Menggedor-gedor kaca jendela mobil sedemikian rupa. Membuat Mayang menutup telinga dan menenggelamkan wajah lebamnya di balik lutut.
Firman kembali menggedor. Mata beringasnya seakan hendak mengunyah wanita di dalam mobil. Mayang semakin menciut. Mata merah yang menahan tangis itu menatap nanar pada kunci mobil yang masih menggantung di tempatnya. Dengan tangan gemetar ia memutar kunci tersebut.
Perempuan itu menurunkan kakinya. Dengan takut-takut menginjak pedal yang bisa tergapai. Mobil meluncur mundur. Menabrak pagar kayu rumah mereka.
Wajah Mayang semakin pias ketika dilihatnya Firman mengejar sambil berteriak-teriak, lalu menggedor jendela mobil kembali.
Perempuan itu terdiam. Matanya menerawang. Lalu perlahan ia menarik ujung bibirnya yang robek. Memaksakan seulas senyum meskipun pipinya yang memar terasa ngilu dan kaku.
Tangan gemetar Mayang memasang seatbelt. Firman yang berada di luar terlihat sangat murka. Apalagi ketika istrinya menarik tuas, dan mobil bergerak maju dengan serampangan. Meninggalkannya yang terus mencaci sambil meninju udara.
Mayang tidak pernah mengemudikan mobil, tapi ia tahu caranya, karena ia selalu memperhatikan lelaki itu setiap kali menyetir–ketika masih banyak cinta di antara mereka.
Awalnya mobil itu melaju tersendat-sendat. Seiring kekuatan dan keberanian yang dihimpun oleh pengemudinya, mobil itu pun perlahan berjalan normal.
Apalagi setelah berada di jalan besar yang lengang. Mayang sudah dapat menguasai diri. Ia membuka semua jendela hingga angin mempermainkan rambutnya. Perempuan yang selalu berkubang dengan air mata berharap angin pun dapat menerbangkan kesedihan dan duka laranya.
Tubuh Mayang tersentak ke depan ketika ia menginjak rem dengan tiba-tiba di depan sebuah taman pemakaman umum.
Perempuan berwajah tirus itu membuka seat belt lalu turun dari mobil dengan kaki telanjang. Ia melangkah masuk ke dalam taman pemakaman umum, meskipun ujung-ujung ranting menancap di telapak kaki.
Mayang terdiam lama ketika melihat sebuah gundukan tanah. Dadanya sesak membayangkan seseorang yang ia cintai terkubur rapat di bawah tanah itu.
Perempuan itu berlari mendekat, lalu tersungkur di ujung gundukan tanah. Ia menangis terisak-isak, menyesali kebodohan. Teringat bagaimana murka orang tuanya ketika ia memaksa menikah dengan lelaki yang berbeda keyakinan. Masih terbayang mata tua ibu yang berlumur sesal telah melahirkannya ke dunia.
Mayang menjatuhkan kepala. Membiarkan dahinya kotor oleh tanah pekuburan menjelang maghrib. Bahunya berguncang menahan tangis yang menggumpal.
“Kau bilang, aku akan selalu menemukan jalan pulang, kan, Bu ….” []
Profil Penulis :
Patrianur Patria, gadis periang dengan sejuta warna. Aktif menulis sejak tiga tahun lalu. Kontributor beberapa buku antologi. Dapat dihubungi melalui FB dengan nama akun yang sama dengan nama penanya.