Oleh: Inayatullah Hasyim
KETIKA tamat sekolah dasar (SD), kita mendapat ijazah; selembar kertas. Begitu pun saat tamat SMP, SMA, dan universitas, juga mendapat selembar kertas. Saat kita punya rumah, bukti kepemilikannya kertas. Memiliki motor, mobil, tanah, deposito, saham, semuanya hanya kertas.
Bahkan, saat selesai ijab kabul, punya istri (atau suami) buktinya juga kertas. Untuk semua kertas-kertas itu, orang bekerja siang dan malam, sampai-sampai melupakan selembar kertas paling penting dalam perjalanan hidupnya, yaitu surat kematian.
BACA JUGA: Benarkah hanya 70.000 Umat Nabi yang Masuk Surga Tanpa Hisab dan Siksa?
Itulah kertas paling berharga bagi anak manusia, sebab saat ia diterbitkan, sang pemilik kertas tak lagi bisa melihatnya. Saat itu, manusia telah kembali kepada Allah SWT, dan bertanggung jawab atas semua lembaran “kertas kehidupannya.” Dunia yang dikejarnya dengan segala kesungguhan, berakhir sudah.
Allah SWT berfirman, “Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan (yang ada di tangan Malaikat). Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.” (QS al-Qomar: 52-53)
Kertas kehidupan manusia akan mulai dibuka oleh Allah SWT, dan umat ini menjadi yang pertama dihisab. Dalam hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas (RA), Rasulullah SAW bersabda, “Kita adalah umat terakhir (di dunia), tapi yang pertama dihisab (di akhirat).” Seorang sahabat bertanya, “Di manakah umat-umat yang lainnya dan nabi mereka?” Rasulullah SAW menjawab, “Kita adalah yang terakhir dan yang pertama.” (HR Ibn Majah)
BACA JUGA: Benarkah Binatang Juga akan Dihisab?
Lalu, apa hikmah dicatatnya amal perbuatan manusia? Bukankah Allah SWT Maha Mengetahui segala hal, bahkan yang terbetik di hati seorang hamba sekalipun? Salah satu hikmahnya adalah membuktikan keadilan Allah SWT. Karena di hari kiamat kelak, manusia akan diminta untuk membaca catatan amalnya sendiri, menghisab dirinya, dan mengakui segala dosanya. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS al-Isra’: 13-14).
Mula-mula orang-orang kafir Makkah tidak percaya dengan hari kebangkitan, sebab setelah kematian manusia akan hancur dimamah bumi. Tetapi, Allah SWT menegaskan, “Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS al-Qiyamah: 3-4).
Pada ayat itu, Allah SWT menyebutkan secara khusus (ujung) jari jemari manusia. Mengapa demikian? Sebab, ujung jari jemari manusia tak ada yang sama. Sejak Profesor Jan Evangelista Purkyne (1787–1869), seorang ahli anatomi dari Universitas Breslau, Republik Ceska, menemukan formula sembilan sidik jari, para ahli forensik meyakini bahwa potensi kesamaan sidik jari manusia hanyalah satu dari dua miliar orang. Artinya, pada setiap manusia, sidik jarinya berbeda, dan Allah Maha Mampu mengembalikannya.
Seorang yang beriman akan menanti laporan kertas kehidupannya dengan dada yang berdebar bahagia. “Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya dengan gembira.” (QS al-Insyiqaaq: 7-9).
Karena itulah, Rasulullah SAW sering berdoa, “Allahuma hasibni hisaban yasiira” (Ya, Allah hisablah aku dengan hisab yang mudah). Demi mendengar doa Nabi itu, Aisyah bertanya, “Apa maksudnya hisaban yasiira?” Rasulullah SAW menjawab, “Dia tidak dihisab (dengan detail), tetapi sebatas dipamerkan. Adapun yang dihisab (dengan detail) dan dipertanyakan (ini itu), maka akan diazab.”
Karena itulah, betapa rugi orang-orang yang menjadikan dunia adalah tujuan hidupnya. Ali bin Abi Thalib berkata, “Setiap kenikmatan selain surga hanyalah tipuan, dan setiap musibah selain neraka hanyalah peringatan.” Semoga kita termasuk orang-orang yang berbahagia saat mendapatkan kertas kehidupan kita kelak. Wallahu a’lam bisshawab. []
SUMBER: IKADI.OR.ID