Oleh: Ratna Dewi Idrus
Penulis buku dan Ibu Rumah Tangga Tinggal di Banjarmasin
Pernahkah melihat seorang yang mengaku setia dan mencintai pasangannya. Dipersaksikan cintanya itu pada semua orang. Namun ternyata, dia berselingkuh.
Selingkuh! Tak ada yang menyukainya, semua orang membencinya, bahkan menjadi geram karenanya. Begitu pula pastinya dengan tukang selingkuh itu sendiri, merasa tak nyaman dengan dirinya, karena mengaku setia, padahal berpaling ke lain hati.
Selingkuh, mungkin inilah gambaran yang tepat untuk melukiskan orang yang munafik. Mengaku mencintai Allah, Kekasihnya, hidup mati hanya untuk-Nya, tetapi lebih mempercayai orang lain sebagai labuhan hati tempatnya bernaung dan berlindung. Bersikap biasa-biasa saja manakala surat cintanya dihina, atau mungkin tak mau mendengar dan memahami firman-firman suci agar lebih dicintai.
Apakah diri ini termasuk orang yang selingkuh?
Ketika Sang Kekasih menyapa, “Wahai orang-orang yang beriman! seharusnya diri ini tak boleh abai, karena ini sapaan sayang, dari cinta yang terdalam, hingga langsung menuju ke dasar hati. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al Maidah, 5:51)
Allah melarang hamba-Nya untuk mengambil orang-orang Yahudi atau Nasrani sebagai pemimpin!
Ketika Allah memberi perintah, tentulah ada sesuatu yang penting untuk di dengar dan ditaati, agar diri mendapatkan hikmah terbesar di dalamnya. Ibarat sedang berada di atas kapal, bagaimana mungkin akan menyerahkan nahkoda pada seorang yang tak memahami kemana arah tujuan yang sebenarnya.
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain…
Bait-bait cinta ini amatlah dalam, Yahudi ataupun Nasrani, mereka saling bantu membantu dalam kepemimpinan, saling bekerjama dalam menghadapi Islam. Sejenak, bolehlah diri membuka lembaran masa lalu, mengenangnya untuk diambil bekal penghidupan, agar kisah sedih itu tak akan pernah terulang kembali!
Ketika itu pernah terjadi di Bandung, di masa Republik Indonesia ini telah memilih Anggota Badan Konstituante. Wakil-wakil partai Islam ingin agar di dalam Undang-Undang Dasar yang akan dibentuk dicantumkan tujuh kalimat, “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Apa yang terjadi? Partai lain yang terdiri dari Katholik, Protestan, partai-partai Nasional, partai Sosial dan partai Komunis, mereka pimpin memimpin, bekerjasama, bersatu menentang cita-cita mulia itu.
Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Apakah kinerja yang ditampilkan pemimpin non muslim itu penuh pukau, hingga diri berburuk sangka, kalau pemimpin muslim belum tentu bisa melakukannya? Padahal segala kebaikan-kebaikan yang ada itu ibarat fatamorgana, terlihat begitu indah dan menakjubkan di kejauhan, namun setelah mendekat, diri tak mendapat apa-apa, begitu juga yang melakukannya, karena segala kebaikan yang tidak diniatkan karena Allah sia-sia adanya.
Jika memilih mereka menjadi pemimpin, sama artinya diri ini tak percaya lagi pada Tuhan, sama artinya diri ini telah murtad, keluar dari barisan Islam, dengan kata lain tak ada bedanya, diri ini dengan mereka di sana.
Bukankah Yang Maha Mengetahui hati telah mengingatkan,
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS. Al Baqarah, 2:120)
Bukankah selama ratusan tahun dijajah orang yang beragama Nasrani, betapa hebatnya mereka sebagai pihak yang berkuasa memaksakan agamanya dan menghilangkan pengaruh Islam, masih diri rasakan sampai sekarang dari peninggalan mereka. Cobalah perhatikan kota Jakarta sendiri, masjid didirikan di tempat terpencil di belakang-belakang lorong, di pinggir-pinggir kota, sedang di tempat yang penting dan megah, gerejalah yang berdiri. Begitu pula di mall-mall megah, adakah dijumpai tempat yang nyaman untuk shalat? Sebab pemodal dan yang berkuasa adalah mereka.
Demikian pula dalam pendidikan, hingga banyaklah diri temui orang-orang Islam karena keturunan atau KTP saja, sedang Islam belum meresap sepenuhnya ke dalam hati sanubarinya, hal ini terbukti banyak diantara kaum perempuan masih tidak mengetahui aurat yang harus ditutupinya, banyak dari remaja yang membiarkan dirinya berpacaran, padahal sungguh nyata larangan Allah, agar tidak mendekati zina. Adakah ini menjadi perhatian?
Benarkah isu yang beredar, “Banyak orang Islam di Indonesia, namun mereka bagaikan buih di lautan, banyak tetapi tak berguna.” Maukah diri dikatakan seperti itu? Tentu tidak, karena setiap diri pasti punya harga dan cita-cita, mengharap cinta-Nya.
Belajar dari lembaran masa lalu, Mukjizat Al Qur’an semakin nyata. Kedua agama yang tadinya saling bermusuhan itu bersatu padu dalam menghadapi Islam. Hingga detik ini kekuatan itu begitu dirasakan, saat diri tak bisa berbuat apa-apa melihat saudara sendiri diperlakukan tidak manusiawi di belahan bumi Palestina.
Jadi, masihkah mau diri ini selingkuh?
Yang membuat Allah cemburu dan marah, hingga menjadikan akhir kesudahan ini sirna dan terlupakan, digantikan dengan manusia-manusia baru yang lebih rupawan, penuh cinta dan begitu dicintai Rabb-nya?
Tentu tidak! melainkan jadi cambuk dan pelajaran berharga, agar lebih menata hati untuk kembali mencintai, bahkan harus lebih setia dan mau berkorban jiwa raga untuk mengharap ridha-Nya. Bukankah ini semua tekad orang yang beriman?
Kepada mereka yang berjuang keras menjadi pemimpin Islam sejati di garda depan, semoga ini jadi momentum untuk menempa diri agar lebih dipercaya, menjadi pribadi yang berkualitas, jujur, tak ingkar janji dan amanah.
Tidak ada kepemimpinan bagi umat Islam kecuali Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, Inilah sikap pecinta sejati dan bukan penyelingkuh!
Namun sebagai umat Islam, tetaplah diri berakhlak baik pada mereka sebagaimana yang difirmankan Allah dalam QS. Al Hujurat, 49 ayat 13, dan sebagaimana yang Rasulullah contohkan. []