Oleh: Beggy Rizkiyansyah
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
SALAH satu generasi emas tokoh-tokoh Islam adalah generasi para tokoh-tokoh Masyumi. Mereka adalah tokoh dengan kecerdasan memukau, kesalehan yang menghujam ke sanubari, serta kesederhanaan yang kaya akan teladan.
Buya Hamka, menyebut generasi ini puluhan orang yang mampu menggerakkan jutaan umat Islam. Mereka adalah tokoh yang turut terjun ke gelanggan republik ini, tak hanya menjadi bagian dari pusaran republik, namun mampu untuk memutar pusaran hingga sejalan dengan cita-cita mereka. Salah satu yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana pandangan hidup mereka? Karena pandangan hidup menjadi motor bagi perubahan sosial dan moral.
Salah satu tokoh yang menarik untuk dikaji pandangan hidupnya adalah Mohammad Natsir. Mantan ketua Masyumi serta perdana menteri ini menjadi salah satu tokoh Islam yang sangat berjasa dalam pergerakan dan perkembangan Islam di Indonesia.
M. Natsir adalah salah satu tokoh Islam yang produktif dalam menulis. Tulisan beliau menghiasi berbagai media Islam seperti Pembela Islam, Pedoman Masyarakat, dan lain-lain. Merentang mulai dari akidah, Politik, budaya hingga sejarah. Oleh karena itu penulis mencoba menyingkap bagaimana pandangan hidup M. Natsir dan aspek-aspek yang diwarnai oleh pandangan hidupnya itu. Tulisan ini akan membatasi hanya pada konsep-konsep aspek tersebut saja. Beberapa aspek yang akan di jabarkan adalah manusia, pengetahuan, politik dan pendidikan menurut M. Natsir.
Penulis mengkaji pandangan hidup M. Natsir dari beberapa tulisannya yang bertalian dengan pembahasan ini. Namun memang tidak mudah untuk mengumpulkan tulisan beliau yang menjabarkan secara utuh dan sistematis mengenai pandangan hidupnya. Mengingat beliau bukanlah akademisi atau filosof yang memang sengaja menjabarkan tulisan mengenai hal ini secara teoritis. Tulisan beliau lebih banyak berupa tanggapan atau reaksi serta penjabaran atas fenomena yang terjadi pada umat Islam saat itu. Tulisan beliau lebih juga lebih dekat dengan bahasa yang sederhana (namun menggugah rasa), karena memang ditujukan pada umat Islam secara luas.
Walaupun sempat membahas filsafat Islam, namun Beliau setidaknya berbeda, misalnya, dengan sahabat sekaligus tokoh Islam seangkatannya, Buya Hamka, yang beberapa kali mengupas filsafat secara khusus dalam bentuk buku, semacam Filsafat ketuhanan atau Falsafah Hidup. Namun bukan berarti hal ini tidak dapat digali dari karya-karya M. Natsir. Penulis berupaya mengumpulkan beberapa karya beliau yang dapat dikaji dari sumber yang terpisah-pisah, serta berikhtiar untuk menganyamnya menjadi sebuah kajian sistematis.
Pandangan Hidup M. Natsir
Pandangan hidup M. Natsir tidak dapat dilepaskan dari Islam. Menurut M. Natsir,
“Islam adalah suatu falsafah hidup, satu levenfilosofie, satu ideologi, satu sistem perikehidupan, untuk kemenangan manusia sekarang dan diakhirat nanti.”[1]
Pendapat M. Natsir diatas menggunakan empat istilah yang menjadi intinya. Pertama, falsafah hidup. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) falsafah berarti, anggapan, gagasan, dan sikap batin yg paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup. Kedua, levenfilosofie, kata berbahasa Belanda, memiliki arti yang sama dengan falsafah hidup. Penggunaan kata ini tampaknya hanya penekanan kembali dalam bahasa yang berbeda. Adalah sebuah hal yang lazim untuk menggunakan istilah berbahasa Belanda pada saat tulisan ini dibuat. Ketiga, Ideologi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi, memiliki beberapa arti, salah satunya adalah;
“Himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politik.”[2]
Kata ideologi, jika ditilik maknanya dalam KBBI, memang lebih condong pada politik. Kata ini tampaknya sengaja dipakai, untuk merekatkan, Islam dan politik. Bagi Natsir, ketika Islam dijadikan sebagai pandangan hidup, Islam tidak dapat diceraikan dari politik. Pandangan hidup M. Natsir ini pun dikupas dari tulisan beilau yang berjudul ‘Agama dan Politik’. Ia dengan tegas menolak pemisahan agama dari politik. beliau memang dikenal sebagai penentang sengit sekularisme.
Keempat, sistem perikehidupan. M. Natsir memakai istilah ini untuk menekankan Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan manusia. Tidak semata aspek spiritual saja. Menurutnya, “…menegakkan Islam itu tak dapat dilepasklan dari menegakkan masyarakat, menegakkan negara, menegakkan kemerdekaan.”[3]
Dapat dikatakan pandangan hidup M. Natsir merupakan pandangan hidup yang menjangkau dunia dan akhirat. Para ulama dan tokoh Islam sendiri memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai Pandangan hidup Islam. Seperti Al Maududi yang menggunakan istilah Islami Nazariyat, yaitu, pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia.[4] Sebuah shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya, dalam kehidupan secara menyeluruh. Dalam hal ini konsep pandangan hidup menurut Al Maududi dan M. Natsir memiliki kesamaan, yaitu kecondongannya pada politik.
Konsep pandangan hidup M. Natsir juga memiliki kesamaan, dengan Al Attas yang menjelaskan bahwa aspek dunia dalam pandangan hidup harus terkait secara mendalam dengan akhirat dan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek final. Hal ini sejalan dengan M. Natsir yang mengatakan, “….untuk kemenangan manusia sekarang dan diakhirat nanti.” M. Natsir juga menekankan bahwa, “Ideologi ini menjadi pedoman kita sebagai muslim, dan buat itu kita hidup dan buat itu kita mati.” Betapapun berbeda-beda, sesungguhnya definisi para tokoh Islam memiliki kesamaan, yaitu sumbernya (wahyu dan aqidah), serta sudut pandangnya yang menjangkau realitas lebih luas.]5] M. Natsir dengan menggunakan Islam sebagai pandangan hidupnya, mampu untuk memaknai beberapa hal seperti manusia, pengetahuan, dan politik.
Manusia Menurut M. Natsir
Manusia dalam pandangan M. Natsir adalah mahluk yang paling sempurna jasmaninya dibandingkan mahluk hidup lain. Dan paling sempurna ruhaniyahnya. Jelasnya,
“Dia mempunyai jasad dan ruh, mempunyai panca-indra yang ajaib untuk menghubungkannya dengan alam luarnya, mempunyai nafsu sebagai pendorong untuk melengkapi keperluan hidup dan memelihara jenisnya; mempunyai fikir dan rasa yang dapat mengetahui dan merasakan mana yang buruk mana yang baik; mempunyai dlamir; hati nurani yang dapat mendorong untuk menjauhi yang ‘buruk’ dan menuju kepada yang ‘baik’.” (6:FD)
Manusia menurut M. Natsir memiliki potensi untuk meningkatkan derajatnya, atau pun turun derajat ke yang lebih rendah, bahkan lebih rendah daripada hewan. Semua ini tergantung pada kemampuannya untuk memanfaatkan potensi jasmani dan ruhaninya. Dalam pandangan Natsir, potensi manusia ini sesungguhnya membutuhkan tuntunan, ‘menghajatkan tuntunan’, begitu istilah beliau. Tuntunan yang sesuai dengan fitrah manusia, baik ruhani maupun jasmaninya. Ia menegaskan, Islam-lah yang tuntunan dan tujuannya demikian. Menurutnya Islam adalah, “Agama yang diberikan Khaliq, cocok, muthabiq, sesuai dengan fithrah kejadian manusia dan dengan undang-undang Ilahy yang berlaku pada dirinya.” [7] Tuntunan bagi manusia menurut Natsir berupa wahyu (Al Quran). Dengan wahyu manusia memperoleh petunjuk akan (pengetahuan) yang benar.
Pengetahuan dalam Pandangan Natsir
Manusia demi meningkatkan derajatnya, perlu mendayagunakan potensinya. Namun potensi itu akan terpakai dengan baik, apabila dibimbing oleh pancaran wahyu, sebagai penentu kebenaran. Pengetahuan akan dapat dicapai dengan jalinan erat wahyu, akal dan pancaindra. Menurut Natsir,
“Wahyu tidak memusuhi pancaindra dan aqal. Pancaindra, aqal dan wahyu berasal dari Khaliq yang satu, Tak ada pertentangan antara pemberian-pemberian Khaliq itu. Mana yang tak tercapai oleh pancaindra dijemput oleh aqal. Mana yang tidak ada atau belum tercapai oleh aqal dijangkaukan oleh wahyu. Wahyu dari ‘Alimil Gahibi wasyahadah. Yang Maha mengetahui segala sesuatu, baik yang nyata ataupun yang tidak. “ [8]
Panca indera bagi Natsir adalah alat untuk mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah (Ayatullah) dalam alam ini. Panca indera memberi makanan bagi aqal agar berpikir tentang kekuasaan Allah. Natsir memang sangat menekankan agar manusia mempergunakan akalnya. Banyak karangan beliau yang membahas tentang akal. Seperti contohnya, Islam Memimpin Akal Merdeka, Kemerdekaan Berfikir : Tradisi dan Disiplin, Quo Vadis Akal Merdeka? Dan lainnya. Bagi Natsir, Islam bukan sebagai penindas akal. Justru Islam memberikan suplemen bagi akal. Dalam beberapa hal Islam menyambung kekuatan akal, di mana akal tidak dapat bekerja lagi. Dan Akal tetap harus dibimbing oleh wahyu. Natsir memaparkan,
”Bagaimanakah kita hendak menjaga supaya akal merdeka itu tetap menjadi lampu yang bersinar penunjuk jalan, jangan sampai berkobar, menyiar membakar semua yang ada, kalau ia tidak ditundukkan kepada garisan-garisan yang telah diberikan oleh Allah SWT; tidak kita ajar ia tunduk dan menghormati garis-garis wahyu diwaktu ia harus tunduk kepada wahyu dan ajaran agama, yang tidak bisa ia atur dan tak boleh ia sendiri mengaturnya!” [9]
Mohammad Natsir berpendapat, lapangan akal merdeka terdapat pada hal-hal yang tidak diatur dan tidak dilarang oleh agama, seperti ibadah, qada dan qadar. “Yang terlarang itu amat sedikit, bila dibandingkan dengan yang boleh. Dengan demikian akal mempunyai ruang gerak yang amat luas. Bukan saja ia boleh, malah disuruh, didorong oleh Agama bekerja di tempat ini.” [10] Orang yang mendewakan akal dalam pandangan Natsir, justru bukan orang yang sebenar-benarnya mempergunakan akal. Bukanlah ia seseorang yang akalnya merdeka dari hawa nafsu, daripada ketakaburan yang cetek. Jalinan cahaya wahyu, ketajaman akal serta kecermatan pancaindera, bagi Natsir, akan membuat manusia memperoleh pengetahuan, untuk meningkatkan potensi pribadinya.
Politik dalam Pandangan Hidup Natsir
Bagi Natsir, manusia tak sekedar mahluk pribadi. Ia juga mahluk yang terkait dengan mahluk lainnya. Mahluk sosial -atau meminjam istilah Natsir- Social Being. Agama telah menjadi tuntunan hidup yang menghidupkan oleh umat manusia sebagai mahluk ijtimaie. [11] Ketika menjelaskan mahluk ijtimaie ini, Natsir memaparkan bahwa, manusia sebagai mahluk sosial, hanya hidup dan berkembang maju dalam ikatan kemasyarakatan. “Maka syarat utama bagi kemaslahatan dan kemajuan itu ialah : berpegang kepada dasar : hidup dan memberi hidup, bukan kepada nafsu berebut hidup.” [12] Disinilah peran wahyu sebagai peletak dasar bagi individu untuk bertanggung jawab kepada masyarakatnya, dan masyarakat bertanggung jawab untuk kemaslahatan anggota-anggotanya. Kaitan manusia (muslim) dengan masyarakatnya ini juga termasuk dalam hal politik. Bagi Natsir, tak mungkin seorang politik diceraikan dari agama. Dan ketika berpolitik, maka Islam sebagai pandangan hidup, tak dapat ditanggalkan.
Natsir menjelaskan, “Oleh karena itu bagi kita sebagai muslim, kita tidak dapat melepaskan diri dari politik. Dan sebagai orang berpolitik, kita tak dapat melepaskan diri dari ideologi kita, yakni ideologi Islam. Bagi kita, menegakkan Islam itu tak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan Negara, menegakkan kemerdekaan.” [13]
Pendidikan dalam Pandangan M. Natsir
Selain bersoal pada politik, tanggung jawab masyarakat menurut Natsir adalah dalam bidang pendidikan. Pendidikan menjadi fardu kifayah.[14] M. Natsir menekankan 2 perkara yang patut diketahui mengenai pendidikan. Pertama, apa tujuan dari pendidikan? Kedua, apa dasar dari pendidikan itu?
Tujuan pendidikan menurut Natsir haruslah ditarik jauh hingga pertanyaan apakah tujuan hidup itu? Tujuan pendidikan dan tujuan hidup, baginya tak dapat dipisahkan. Tujuan hidup adalah memperhambakan diri kepada Allah. Dasar dari tujuan ini adalah surah Adz Dzariyat ayat 56. Natsir menjelaskan bahwa, “Perhambaan kepada Allah yang jadi tujuan hidup dan jadi tujuan didikan kita, bukanlah suatu perhambaan yang memberi keuntungan kepada yang disembah, tetapi perhambaan yang memberi keuntungan pada yang menyembah; perhambaan yang mendatangkan kebahagiaan kepada yang menyembah; perhambaan yang memberi kekuatan kepada yang memperhambakan dirinya itu.” [15]
Memperhambakan diri kepada Allah, memiliki arti yang luas, yaitu mencakup ketakwaan dan ketundukan pada ilahi, yang membawa pada kebesaran dunia, serta menjauhi larangan-larangan. Dan untuk mencapainya dibutuhkan ilmu. Yang dapat dicapai melalui jalinan wahyu, pancaindra dan akal.
Setelah mengetahui tujuan pendidikan, maka patut juga mengetahui dasar pendidikan. “Mengenal Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, tidak dapat tidak, harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih…”[16]
Dampak dari pendidikan berdasar tauhid ini memancarkan arti yang mendalam bagi pribadi dan lingkungan.
“Ia berani hidup ditengah-tengah dunia, yang kata orang penuh dengan tipu daya dan kecewa, tapi ia pun berani pula mati untuk memberikan darma baktinya bagi kehakiman ilahi di yaumilmahsyar.” (17 : CS1)
Kesimpulan
Islam bagi Mohammad Natsir adalah tak hanya sebagai agama semata dalam arti ritual atau ibadah, tetapi Islam sebagai pandangan hidup. Pandangan hidup ini mencakup aspek fisik dan metafisik. Menjadikan wahyu dan aqidah sebagai sumbernya. Menjangkau dunia dan akhirat, serta menjadikan akhirat sebagai tujuan terakhirnya. Impikasi dari Islam sebagai pandangan hidup Natsir adalah, segala aspek kehidupan dilihat dari kacamata Islam. Wahyu, pancaindra dan akal sebagai alat untuk mencapai pengetahuan yang benar.
Catatan Kaki
- Natsir, Mohammad. Capita Selecta 2. PT Abadi. 2008. Jakarta.
- Ibid
- Ibid
- Zarkasyi, Hamid Fahmy. Islam sebagai Pandangan Hidup dalam Tantangan sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam. Khairul Bayan. 2004. Jakarta.
- Ibid
- Natsir, Mohammad. Fiqhud Da’wah. Media Da’wah. 2006. Jakarta.
- Ibid
- Ibid
- Natsir, M. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah. Girimukti Pasaka. 1988. Jakarta.
- Ibid
- Natsir, Mohammad. Fiqhud Da’wah. Media Da’wah. 2006. Jakarta.
- Ibid
- Natsir, Mohammad. Capita Selecta 2. PT Abadi. 2008. Jakarta.
- Natsir, M. Capita Selecta. Van Hoeve. 1954. Bandung.
- Ibid
- Ibid
- Ibid