Oleh: Ust. M. Lili Nur Aulia
“ALLAHU… laa ilaaha illa huwal … hayyul qayyumm… laa ta`khudzuhuu… sinatuwwalaa nauum…. “ Ucapan kalimat yang menjadi bagian dari ayat Kursi itu keluar dari mulut istri saya, terbata-bata, dengan mata terpejam. Ia mengucapkannya tidak utuh, dan bahkan terpotong-potong hingga tersambung dengan sejumlah ayat di awal-awal surat Al Baqarah.
Sulit menuangkan apa yang ada dalam kepala saya saat itu. Melihat selang infus yang tertancap di dua tangannya yang terikat dengan bagian sisi tempat tidur di rumah sakit. Ya, malam itu adalah malam pertamanya menginap di rumah sakit ini. Setelah sebelumnya ia sakit selama hampir satu bulan dan dinyatakan kondisinya lebih baik sehingga dibolehkan pulang ke rumah.
Tapi hanya selang dua hari setelah itu, penyakitnya kian parah, hingga pada sore menjelang malam tepat di hari raya Idul Adha, saya dan keluarga membawanya ke rumah sakit ini. Rumah Sakit Polri, Kramat Jati. Menurut diagnosa dokter, ia menderita typus stadium tinggi karena sudah beberapa kali mengalami sakit yang sama.
Sekitar pukul 10 malam, saya masuk lagi ke ruang rawat. Ia sudah tidak lagi melantunkan ayat-ayat Al Quran. Matanya yang sudah terbuka, otomatis membuat saya terkejut dan sangat senang. Alhamdulillah… Tapi sepertinya, ia tidak lagi mampu menerka apapun yang ada di hadapannya. Saat saya mendekatinya, keterkejutan dan kebahagiaan itu berubah menjadi kedukaan yang begitu dalam.
Itu terjadi ketika ia melontarkan pertanyaan kepada saya, “Kamu siapa? Ini siapa…?” Saya tak bisa membendung air mata lagi, karena itulah pertanyaan pertama yang saya dengar seumur hidup saya sebagai suaminya. Dan pertanyaan itu terasa begitu menyayat.
Saya segera keluar ruangan dan mengkondisikan diri. Tak lama setelah itu, saya diminta keluarga untuk istirahat di rumah karena kondisi fisik beberapa hari terakhir memang melelahkan.
Malam itu, pikiran saya dipenuhi dengan ragam memori dan ingatan tentang masa perjalanan empat tahun berumah tangga. Juga tentang waktu-waktu sakitnya, yang menyisakan kenangan tersendiri.
Saat ia dirawat di rumah sakit sebelumnya, dengan kondisi tubuh yang hanya bisa berbaring ia sangat rajin mengatakan, “Mau shalat… “ Saya dan keluarga segera membimbing tangannya untuk tayammum. “Dibantuin kalau ada yang lupa.. “ katanya lagi. Kami semua menuntunnya untuk melakukan shalatnya yang dilakukan sambil berbaring. Merapihkan jilbabnya, membetulkan bacaannya dan mengingatkan jumlah rakaatnya.
Meski dalam beberapa kali shalat, ia ternyata sudah tidak sadar, dan akhirnya shalatnya pun selesai begitu saja. Terkait dengan jilbab yang dipakainya, ia seringkali ketika tersadar mengatakan, agar dirinya tetap tertutup auratnya, dan jilbabnya agar tetap tertutup karena dokter yang memeriksanya adalah laki-laki.
Saya juga ingat saat ia mengatakan, “Mas, maaf ya kayaknya anaknya hanya dua aja.” Ketika itu, saya malah tersenyum dan mengatakan, insya Allah lebih dari dua. Dan ketika tiba-tiba saja ia mengatakan, “Saya mencium bau tanah kuburan…” Saya segera menepis kata-kata itu, dengan tegas, bahwa kita tidak boleh menerka usia, tidak boleh pesimis, tidak boleh mengeluarkan kata-kata seperti itu. Itulah bagian dari hari-harinya saat ia diopname di rumah sakit.
Sekitar jam 12 malam itu, ada berita yang menambah kesedihan saya. Kondisi istri semakin tidak menentu sehingga harus dipindah dari ruang rawat inap ke ruang ICU. Saya tetap diminta untuk tidak perlu datang ke rumah sakit, dan lebih banyak berdo’a dan mempersiapkan fisik untuk esok paginya.
Saat menerima berita itu, saya hanya berpesan, agar jangan ada terlewat beberapa saatpun dari keluarga untuk membacakan Al Qur`an di sampingnya sejak dia berada di ruang ICU. Alhamdulillah, pesan itu terlaksana, karena saudara-saudara secara bergantian masuk ke ruang ICU dengan membacakan Al Qur`an di sampingnya, sampai pagi hari.
Jam enam pagi, saya segera berangkat menuju rumah sakit. Tak lama kemudian, tiba giliran saya untuk masuk ke ruangan membacakan Al Qur`an. Saya melihat monitor EKG, alat rekam jantung yang masih menandakan jantungnya normal. Sambil menghirup nafas panjang, kemudian saya bacakan di sampingnya surat Yaasiin.
Ini saya lakukan mengingat, sebuah hadits “iqra`u alaa mautaakum suurata yaasin.” Kata-kata “mautaakum”, dimaknai oleh sebagian ulama hadits, dengan orang yang akan meninggal, karena itu berguna untuk mempermudah segala keadaan orang yang akan meninggal.
“Innamaa amruhuu idzaa araada syai’an an yaquula lahuu kun fayakuun. Fa subhanalladzii biyadihii malakuutu kulli syai’in wa ilaihi turja’uun…” Ini ujung ayat surat Yasin yang saya baca. Persis usai membaca surat itu, monitor EKG menunjukkan kondisi jantung istri tidak stabil. Sejenak bergaris lurus, dan sejenak lagi bergerak naik.
Para dokter berdatangan untuk membantu memberi ragam pertolongan agar menstabilkan nafas dan jantungnya. Saat itu juga, saya membacakan surat Al Ahad tiga kali, Al Falaq tiga kali dan An Naas tiga kali. Lalu, saya membaca surat Al Fatihah sambil saya memegang ujung jari kakinya.
Ihdinaa shiraathal mustaqiim. Shiraatallaziina an’amta ‘alaihim. Ghairil maghdhubi ‘alaihim. Waladh dhaalliiin. Aamiiin. Persis setelah saya usai membaca surat Al Fatihah. Ketika saya mengucapkan “aamiin…” Degup jantungnya berhenti. Layar monitor EKG pun bergaris lurus. Para dokter terkesima dan diam. Ya, istri saya tidak dapat ditolong lagi karena telah menghembuskan nafasnya yang terakhir…. Di hadapan saya, suaminya. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word