SENANG tatkala dipuji merupakan hal biasa bagi seorang manusia. Apakah hal tersebut terlarang? Jawabannya bisa terlarang atau tidak, terkadang rasa senang tersebut bisa membawa kepada hal yang positif yang dicintai Allah, namun terkadang bisa menjerumuskan kepada kemurkaan Allah SWT.
Dalam sebuah hadits diceritakan ada salah seorang sahabat Rasulullah SAW bertanya kepada beliau:
أرَأيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ مِنَ الخَيْرِ، ويَحْمَدُهُ النّاسُ عَلَيْهِ –ويحبه الناس- ؟
“Bagaimana menurutmu jika seseorang melakukan sebuah kebaikan, sehingga membuat manusia memujinya, -dalam riwayat lain disebutkan- sehingga manusia pun mencintainya?”
BACA JUGA: Cara Taubat dari Dosa
Rasulullah SAW pun bersabda:
تِلْكَ عاجِلُ بُشْرى المُؤْمِنِ
“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk seorang mukmin.” (HR. Muslim : 2642 dan Ahmad : 1161).
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW tidak mencela orang yang dipuji maupun manusia yang memuji karena amal sholeh yang dilakukan, malahan Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hal tersebut tidak mengapa karena merupakan kabar gembira yang Allah SWT berikan kepada seorang mukmin yang melakukan kebaikan.
Syaikh As – Sa’dy berkata :
إذا عمل العبد عملًا من أعمال الخير وخصوصًا الآثار الصالحة والمشاريع الخيرية العامة النفع، وترتب على ذلك محبة الناس له، وثناؤهم عليه، ودعاؤهم له- كان هذا من البشرى أن هذا العمل من الأعمال المقبولة، التي جعل الله فيها خيرًا وبركة
“Apabila seorang hamba melakukan sebuah amalan kebaikan, terlebih pada amalan yang manfaatnya mencakup orang banyak, dan hal tersebut menimbulkan kecintaan dan pujian manusia lalu mereka pun mendoakannya, maka ini adalah kabar gembira bahwasanya amalan-amalan tersebut diterima oleh Allah, dan Allah menjadikan amal tersebut penuh kebaikan dan keberkahan.” (Bahjah qulubil abrar : 214 – 215).
Sejatinya kecintaan manusia kepada seorang mukmin merupakan salah satu tanda bahwa amalannya diterima dan diridhoi Allah SWT, Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ اللهَ إذا أحَبَّ عَبْدًا دَعا جِبْرِيلَ فَقالَ: إنِّي أُحِبُّ فُلانًا فَأحِبَّهُ، قالَ: فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنادِي فِي السَّماءِ فَيَقُولُ: إنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلانًا فَأحِبُّوهُ، فَيُحِبُّهُ أهْلُ السَّماءِ، قالَ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ القَبُولُ فِي الأرْضِ
“Sesungguhnya Allah SWT jika mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril sembari berfirman: Sesungguhnya Aku mencintai si fulan maka cintailah dia. Jibril pun mencintai orang tersebut. Kemudian Jibril menyeru penduduk langit: sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka kalian cintailah dia, sehingga para penduduk langitpun mencintainya. Setelah itu dia pun mendapatkan kedudukan di hati penduduk bumi”. (HR. Muslim : 2637).
Tentu manusia atau penduduk bumi yang kita bahas disini adalah orang-orang sholih, karena orang yang ada penyakit di hatinya tidak akan menyukai kebaikan ataupun orang yang melakukan kebaikan.
Namun, apabila kesenangan tersebut menjadikannya ‘ujub, merendahkan orang lain serta melupakan bahwa kenikmatan yang ada pada dirinya merupakan pemberian Allah SWT, pada saat itulah senang pujian menjadi petaka yang akan menghancurkannya.
Rasulullah SAW bersabda:
ثَلاثٌ مُهْلِكاتٌ: شُحٌّ مُطاعٌ، وهَوًى مُتَّبَعٌ، وإعْجابُ المَرْءِ بِنَفْسِهِ مِنَ الخُيَلاءِ
“3 perkara yang membinasakan : kekikiran yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujubnya seseorang dengan dirinya karena kesombongan.” (HR. At – Thabrani : 5452)
BACA JUGA: Dosa Besar Bicara Tanpa Ilmu (1)
Inilah penyebab Rasulullah SAW melarang dari berlebihan ketika memuji orang lain di hadapannya, karena hal tersebut bisa jadi menjadikannya lupa diri dan terjerumus ke dalam dosa. Dalam sebuah hadits rasulullah SAW bersabda tatkala mendengar seseorang berlebihan dalam memuji:
أهْلَكْتُمْ، أوْ: قَطَعْتُمْ ظَهْرَ الرَّجُلِ
“Kalian telah membinasakan atau telah mematahkan punggung orang itu”. (HR. Bukhari : 6060).
Dari keterangan di atas kita simpulkan bahwa senang terhadap pujian karena sebuah amalan, bisa menjadi kabar gembira bisa juga membawa petaka.
Jika rasa senang tersebut berlanjut kepada memuji Allah SWT yang telah menunjuki dan menguatkannya untuk beramal sholih, sehingga bertambah syukurnya yang tertuang dalam hati, lisan dan perbuatan maka ini tidak tercela.
Namun jika hal tersebut menjadikan dirinya gila pujian, ujub sehingga merendahkan orang lain, maka kecelakaanlah yang akan menimpa orang ini dunia dan akhirat. Wallahu a’lam. []
SUMBER: BIMBINGAN ISLAM