Oleh: Yus Firdaus
AKU hapus uap dari kaca jendela kereta, berharap udara di luar sehangat udara yang kurasakan. Meski kenyataanya tidak demikian karena di luar hujan sangat deras, senja semakin merangkak memisahkan obsesi dan batas kemampuan. Cukup untuk hari ini, kereta ini akan mengantarkan aku pulang meski terlambat.
Dari balik kaca aku menyaksikan kembali putaran drama kehidupan, anak kecil berlari bermain di bawah hujan, aku tersenyum, dulu aku ada di antara mereka, menantang hujan bertelanjang dada, lupa rasa dingin, rasa lapar juga lupa rasa sakitnya cambukan sapu lidi di kakiku yang kotor sore kemarin.
Perlahan kereta ini melaju meninggalkan masa itu, setiap setingnya berpindah pasti. Terlihat hamparan lahan sawah yang ditanami patok-patok beton berwarna biru di sela padi yang mulai menguning, menurut berita yang tidak sengaja aku dengar “akan ada proyek perluasan jalan dan perumahan”, lagi dan lagi.
Hmm…
Aku menarik napas dalam, mengalihkan pandanganku ke dalam kereta ketika seseorang menepuk pundakku, kondektur bertubuh tinggi dan tambun memandangku tanpa expresi aku segera memberikan tiket, dia memeriksanya kemudian berlalu tanpa kata.
Beberapa detik aku terdiam memandang kosong lurus ke depan, tanpa sadar pandanganku terpaku pada seorang gadis cantik berhidung mancung yang juga sedang asyik melamun memandang ke arahku, pandangan kami bertemu secara tidak sengaja, setelah sadar dia terlihat salah tingkah, akhirnya dia tersenyum manis kepadaku menghapus kekakuannya, aku membalas senyuman itu kikuk, tidak menyangka akan ada sambutan yang meriah seperti ini, lupa dari tadi kita duduk saling berhadapan.
Jadi tergoda ingin menyapa mengajaknya berbincang untuk membunuh waktu dalam perjalanan yang singkat namun membosankan ini. Aku memulai dengan hujan, dengan dingin dan dengan drama yang diputar di sepanjang jalan yang terlewati, kemudian pembicaraan kami berkembang tidak berujung tidak berpangkal mengalir seperti air hujan yang semakin deras memandikan kereta. Sesekali dia tersenyum diselingi tawa renyah saat aku mencandainya.
18.38 menit kereta berhenti perlahan di stasiun tempat tujuanku, kulirik hujan masih deras di luar sana, aku memandang si gadis berhidung mancung, dia memberikan senyuman manis itu lagi dengan cuma-cuma. Matanya mengisyaratkan ingin bertemu kembali, dia memberikan nomor handphone dalam secarik kertas dan aku berjanji akan menghubunginya lagi. Setelah itu kami benar benar berpisah, aku meninggalkannya kembali sendiri, dia akan berhenti di setasiun berikutnya setelah setasiun ini.
Kaki baru saja menginjak lantai setasiun yang becek berlubang, satu langkah setelah turun dari kereta, hujan deras tidak sempat membasahi rambutku yang selalu rapi, sebuah payung berwarna perak telah melindungi badanku dari siraman air hujan.
Wanita bergamis biru lusuh telah melindungiku dari siraman air hujan dengan payungnya, dia sendiri basah kuyup. Dia tersenyum, senyuman yang sudah aku kenal selama hampir sepuluh tahun. Aku menghentikan langkahku di tempat teduh, kuperhatikan wajahnya yang basah. Ada sisa lipstick tipis di bibirnya, ada sisa bedak di pipinya, kerudung merah mudanya sudah berantakan kusut masai. Semuanya luntur, wanita ini berusaha untuk tampil cantik menyambut kepulanganku.
Aku memandangi punggung kereta yang melaju perlahan dan semakin menjauh kemudian menghilang di telan kabut senja yang menghitam kuremas secarik kertas kemudian membuangnya kedalam air selokan yang meluap kejalan.
“Aku mencintaimu sayang…” aku berbisik pada perempuan yang sudah lama menjadi pendamping hidupku dalam suka dan duka, yang setia, dan memberikanku mutiara hati yang lucu dan cantik, anak-anak kami.
Senja ini aku jatuh cinta untuk kedua kalinya pada ibu dari anak-anakku. []