“Secepat kilat kami lompat ke sungai,” kenang Abdurrahman suatu hari.
Tak ada pilihan lain kecuali mengadu nasib dengan air yang deras dan ganas. Selebihnya takdir kematian membayangi kehidupan.
“Kembalilah kalian berdua, kalian akan mendapatkan jaminan keamanan,” teriak tentara Abbasiyah dengan sumpah.
Tapi Abdurrahman dan Hisyam terus berenang ke tengah, sekuat tenaga, tersenggal-senggal, dan air sungai siap menelannya kapan saja.
Ternyata Hisyam kelelahan, hatinya mulai goyah, mulai terbujuk rayu sumpah para tentara pemburunya. Hisyam hendak kembali ke tepi sungai.
BACA JUGA: Belajar Hikmah dari Syaikh Abdurrahman as-Sudais
“Jangan kembali! Mereka pasti membunuhmu,” teriak sang kakak lantang.
“Mereka telah memberikan jaminan keamanan.”
“Kemarilah, cepat kemari! Engkau akan dibunuh.”
Sang adik tak bergeming, tak mendengarkan teriakan kakaknya yang parau. Ia kembali ke tepi, berenang dan disambut tentara Abbasiyah. Mata Abdurrahman menatap nanar, kosong, dan gelisah. Namun segera melaju dengan sisa-sisa tenanga dan berhasil menepi ke seberang Sungai Eufrat yang melegenda.
Benar saja dugaannya, Hisyam, sang adik yang saat itu baru berusia 13 tahun dipenggal kepalanya di depan matanya.
Hati Abdurrahman gerimis, dari seberang ia menyaksikan kepala sang adik diperlakukan hina, dibawa berlalu para tentara itu.
Sang adik yang sangat dicintainya itu kini telah tiada, dan ia satu dari sekian banyak keturunan Umawiyah yang dibantai, terusir dan berdarah.
Kenangan bersama orang-orang tercinta masih lekat dibenaknya.
Saat itu Abdurrahman sakit mata di rumahnya, di desa Dier Khinan, Propinsi Qansarin di Syam. Sulaiman, putra pertamanya yang baru berusia 4 tahun dan sedang main di depan rumah, menghambur ke pelukannya. Wajahnya ketakutan dan tak mau melepaskan pelukannya.
Abdurrahman melangkah ke luar melihat yang terjadi, betapa terkejutnya ia karena bendera-bendera berwarna hitam terpancang di sana. Para tentara mengepung rumahnya.
Lantas Abdurrahman mengajak sang adik untuk melarikan diri dan meninggalkan anak-anak bersama istri dan saudari-saudarainya, insya Allah mereka aman.
Kenangan itu masih lekat, bersama sang adik yang cerdas, shalih, dan baik hati ia pontang-panting berlari dari pengejaran para tentara yang mengincar nyawa keduanya. Dan kisah kebersamaan dengan sang adik harus berakhir di tepi Sungai Eufrat yang bisu.
Abdurrahman yang saat itu masih berusia 19 tahun, melanjutkan pelariannya sebagai buronan yang kepalanya diincar oleh rezim yang kini berkuasa. Daulah Umawiyah di Timur telah berganti Abbasiyah.
Berlari dan terus berlari menerobos negeri demi negeri, bersembunyi dan menyamar. Dikejar dan dimata-matai intelejen negara. Minta tolong dan perlindungan. Jatuh bangun, tertatih dan berdiri untuk menyambung hidup. Hingga sampai ke Maroko dan menyeberang ke Spanyol.
Pelan tapi pasti, sketsa sebuah negara terbayang dibenaknya. Dirancang, dipetakan, dan mulai direalisasikan dengan membangun hubungan dari satu tokoh ke tokoh lain, memahamkan masyarakat, mendidik umat, dan menyusun kekuatan. Singkat cerita berdirilah Daulah Umayyah II di Andalusia.
Terpekur hati ini menyeksamai perjalanan hidup Abdurrahman, betapa besar kapasitas jiwanya di usianya muda belia. Visi misi hidup seorang Abdurrahman melampaui pandangan hidup manusia di zamanya, bahkan hingga saat ini belum ada lagi seorang lelaki yang serupa dengannya.
Bayangkan, satu jiwa menjadi motor penggerak berdirinya sebuah negara. Yang megah, agung dan perkasa. Bertahun-tahun lamanya syariat Islam memayungi masyarakat, politik, sosial, budaya, dan seni menjadi icon kemuliannya.
BACA JUGA: Ketika Musik Menggema di Andalusia
Betapa besar kapasitas pribadi Abdurrahman, satu jiwa dengan kualitas luar biasa. Iman berpadu dengan visi hidupnya. Ide, pemikiran, dan gagasannya meraksasa, menggerakan banyak jiwa berpadu dalam kebaikan. Gerak bersama membangun kekuatan, peradaban sebuah negara.
Ocehan tak berharga ini tamparan bagi penulisnya, betapa kerdil, lemah dan nistanya jiwa ini. Semoga Allah ampuni segala dosa, hilaf, dan alpa. Meski tak perlu persis seperti Abdurrahman yang memotori berdirinya suatu negeri, semoga Allah golongkan menjadi bagian yang memperjuangkan agamanya.
_______
Abdurrahman bin Muawiyah, atau para sejarawan menyebutnya Abdurrahman ad-Dakhil berusia 59 tahun. Lahir hingga usia 19 tahun di Damaskus dan Irak dalam naungan Daulah Umawiyyun, 6 tahun dalam pelarian dan perencanaan sebuah negara, dan 34 tahun memimpin Umayyah II di Andalusia, Spanyol. []