MUSIM haji sudah tiba. Khususnya bagi perempuan Islam, ada persiapan khusus yang harus diperhatikan ketika akan melaksanakan ibadah haji. Jamaah Muslimah hendaknya ditemani mahram saat menunaikan ibadah haji.
Ketentuan ini dilandaskan pada hadis riwayat Imam Bukhari. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya.”
Mendengar itu, seorang laki-laki bangkit seraya berkata, “Wahai Rasulullah, istriku berangkat hendak menunaikan haji, sementara aku diwajibkan untuk mengikuti perang ini dan ini.”
Beliau berkata, “Kalau begitu, kembali dan tunaikanlah haji bersama istrimu.”
BACA JUGA:Â Apa Hukum Laki-laki dan Perempuan Bukan Mahram Shalat Berjamaah Berdua?
Ketentuan harus ditemani mahram berdasar hadis di atas ternyata menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mewajibkan jamaah haji Muslimah harus ditemani mahramnya berdasarkan kaidah tertulis di atas.
Selain itu, kalangan ulama yang mewajibkan juga menguatkan pendapatnya dengan beberapa hadis lainnya. Ambil contoh, dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya” (HR Ahmad).
Pandangan ini diambil oleh ulama-ulama Maliki. Menurut para fukaha dari mazhab ini, ibadah haji bagi seorang Muslimah harus disertai suaminya, atau salah seorang mahramnya, atau seorang teman wanita yang dapat dipercaya. Kalau semua itu tidak ada, maka tidak wajib baginya melaksanakan ibadah haji.
Adapun ulama dari mazhab Hanbali secara tegas mewajibkan adanya suami atau mahram. Sebab, hal itu merupakan syarat kemampuan (istitaah) wanita melaksanakan haji. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Kalau seorang wanita tidak ada suami atau mahramnya, maka ibadah haji tidak wajib atasnya.”
Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Nabi SAW, “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian selama tiga hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya atau suaminya atau anaknya atau saudaranya atau mahramnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Pandangan berbeda diungkapkan oleh mazhab Syafii. Para fakih perspektif ini berpendapat, Muslimah bisa pergi haji tanpa mahramnya. Itu asalkan, Muslimah tersebut pergi menunaikan ibadah haji bersama kelompok wanita yang dipercaya.
Penekanannya adalah bukan hanya satu teman wanita, tetapi rombongan wanita sehingga perjalanannya bisa aman. Jika sudah ada grup yang amanah, ia tetap wajib menunaikan ibadah tersebut.
Alasan membolehkan Muslimah boleh haji tanpa mahram adalah hukumnya sudah “hilang.” Anjuran harus dengan mahram dinilai karena faktor keamanannya belum terjamin. Jika keamanannya terjamin, hukumnya menjadi berubah.
Dasar pengambilan hukumnya juga didasarkan pada hadis dari Adiy bin Hatim. Ia berkata, “Ketika aku sedang bersama Nabi SAW, tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi beliau dan mengeluhkan kefakirannya. Kemudian, ada lagi seorang laki-laki yang mendatangi beliau dan mengeluhkan para perampok jalanan.
Maka beliau berkata, ‘Wahai Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri al-Hirah?’
Aku menjawab, ‘Belum pernah aku melihatnya, namun aku pernah mendengar beritanya.’
Beliau berkata, ‘Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari al-Hirah hingga melakukan tawaf di Ka’bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah'” (HR Bukhari).
BACA JUGA:Â Ojol Berboncengan dengan yang Bukan Mahram, Apa Hukumnya dalam Islam?
Lain lagi dengan pendapat ulama dari Mazhab Hanafi. Menurut mereka, jika jarak antara Makkah dan rumah seorang Muslimah bisa ditempuh selama lebih dari tiga hari dengan perjalanan kaki, maka wajib bagi ia disertai suami atau mahramnya. Ini berlaku bagi Muslimah tua maupun muda. Namun, jika jaraknya kurang dari itu, maka haji tetap wajib ditunaikan meskipun tanpa disertai suami atau mahramnya.
Menurut Syekh Yusuf Qaradhawi, prinsip hukum atau ketetapan adanya mahram haji bukan untuk membatasi kebebasan Muslimah dalam melakukan ibadah. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik dan kehormatannya. Di samping itu, ini juga untuk melindunginya dari maksud jahat dari orang-orang yang hatinya berpenyakit. []
SUMBER: REPUBLIKA