MENURUT Al Imam ‘Izzud-Din bin Abdis Salam As-Sulami Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i (wafat : 660 H) yang digelari dengan “Sulthonul Ulama” berkata:
من مات و عليه دين تعدى بسببه أو بمطله فإنه يؤخذ من ثواب حسناته مقدار ما ظلم. فإن فنيت حسناته طرح عليه من عقاب سيئات المظلوم ثم ألقي في النار. ومن مات و عليه دين ولم يتعد بسببه ولا بمطله فإنه يؤخد من ثواب حسناته في الآخرة كما يؤخذ أمواله في الدنيا حتى يصير فقيرا لا ما له و لا يؤخذ ثواب إيمانه كما لا يؤخذ في الدنيا ثياب بدنه. فإن فنيت حسناته لم يطرح عليه من سيئات خصمه شيئ لأنه لم يعص به.
“Barang siapa yang meninggal dunia dalam kondisi masih memiliki tanggungan hutang, yang dia melampaui batas dengan sebab hutangnya, atau menunda-nunda membayar hutangnya padahal dia mampu, maka pahala kebaikannya akan diambil sesuai dengan kadar kedzoliman yang dia lakukan (untuk diberikan kepada orang yang dia hutangi). Jika kebaikannya habis, siksaan kejelekan orang yang dia dzolimi dilemparkan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke Neraka.
Barang siapa yang meninggal dunia dalam kondisi memiliki hutang yang belum dibayar, tapi tidak melampaui batas dengan sebab hutangnya tersebut dan tidak menunda-nunda membayarnya padahal dia mampu, maka di akhirat, pahala kebaikannya akan diambil (untuk diberikan kepada orang yang dia hutangi), sebagaimana hartanya diambil di dunia sampai dia menjadi orang yang fakir yang tidak punya harta sama sekali. Namun pahala keimanannya tidak diambil, sebagaimana pakaian badannya tidak diambil di dunia. Jika sudah habis kebaikannya, kejelekan lawan sengketanya tidak dilemparkan kepadanya sedikitpun. Karena dia tidak bermaksiat dengan perbuatannya tersebut.” [ Al-Fawaid Fi Ikhtishorul Maqoshid hlm. : 92 cetakan Daru Fikr tahun 1416 H ].
BACA JUGA: Membantu Muslim yang Terlilit Utang
Saya (Abdullah Al-Jirani) berkata: Perincian dari Al-Imam ‘Izuddin bin Abdus Salam –rahimahullah- di atas, merupakan perincian yang sangat bagus. Bahkan termasuk perincian yang paling baik yang pernah kami dapatkan. Hal ini didasarkan kepada beberapa dalil, diantaranya :
Hadits dari sahabat Abu Huroiroh –rodhialloh ‘anhu-, Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
مطل الغني ظلم
“Menunda-nunda membayar hutang dalam kondisi mampu untuk membayar, merupakan kedzoliman.” [ HR. Al-Bukhari : 1070 dan Muslim : 33 ].
Hadits di atas secara manthuq menunjukkan, bahwa perbuatan menunda membayar hutang termasuk perbuatan maksiat. Karena Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- mengungkapkannya sebagai perbuatan dzolim. Mafhum-nya, berarti seorang yang menunda membayar hutang kerena memang belum mampu/belum ada, maka tidak masuk kepada jenis maksiat.
Al-Imam Al-Khathabi Al-Busti –rahimahullah- (wafat : 388 H) berkata :
قوله مطل الغني ظلم دلالته أنه إذا لم يكن غنيا يجد ما يقضيه لم يكن ظالما، وإذا لم يكن ظالما لم يجز حبسه لأن الحبس عقوبة ولا عقوبة على غير الظالم.
“Ucapan beliau (“Menunda-nunda membayar hutang dalam kondisi mampu untuk membayar, merupakan kedzoliman.”), menunjukkan, sesungguhnya apabila seorang yang tidak punya apa yang bisa dia gunakan untuk melunasi hutangnya, maka dia bukan seorang yang dzolim. Apabila bukan orang yang dzolim, tidak boleh untuk dikurung (dipenjara). Karena sesungguhnya kurungan adalah hukuman. Tidak ada hukuman bagi selain orang yang berbuat dzolim.” [ Ma’alim Sunan : 3/65 ].
Al-Imam Ibnul Mulaqqin Asy-Syafi’i –rahimahullah- (wafat : 804 H) berkata :
ومفهوم الحديث أن مطل غير الغني ليس بظلم ولا مطالبة عليه إذًا
“Yang dipahami dari hadits ini, sesungguhnya penundaan membayar hutang dari selain orang yang mampu, bukan termasuk perbuatan dzolim dan tidak ada tuntutan saat itu kepadanya.” [ At-Taudhih Li Syarhil Jami’ Ash-Shohih : 15/428 ]
Namun, kedua keadaan ini walaupun berbeda dari sisi “status” perbuatannya, akan tetapi dari sisi konsekwensi terhadap sesama manusia (orang yang dihutangi/didzolimi) sama, yaitu harus diselesaikan nanti di akhirat yang diwujudkan dengan “transfer” pahala dari orang yang berhutang kepada yang dihutangi sesuai kadar hutangnya.Illat (sebab) perbedaan hukum dari keduanya, terletak pada sifat at-ta’addi (melampaui batas) dan at-ta’ammud (kesengajaan) dalam melakukan perbuatan tersebut.
Adapun dilemparkannya pelaku perbuatan tersebut di atas setelah kebaikannya habis ke dalam apbi Neraka, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits “orang bangkrut” nanti di hari kiamat dari sahabat Abu Huroiroh –radhiallohu ‘anhu-, nabi s-hollallahu ‘alaihi wa sallam-:
BACA JUGA: 7 Cara Melunasi Hutang Riba
«أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟» قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ، فَقَالَ: «إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ»
“Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab; ‘Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.” [ HR. Muslim : 2581 ]. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani