Oleh: Irfan Toni Herlambang, Majalah SAKSI, Jakarta
TEMAN, saya punya sebuah kisah menarik untuk disimak. Kisah itu bercerita tentang seorang raja. Ia raja yang baru naik tahta. Sebagai raja yang baik, program pertama yang dicanangkannya adalah berkeliling ke seluruh negeri untuk mengetahui keadaan rakyatnya sekaligus mengecek wilayah kekuasaannya.
Nah, mulailah ia mengarungi gunung dan segenap lembah negerinya. Ia bertatap muka dengan rakyatnya yang hidup di ujung pantai. Ia bersambung rasa dengan rakyatnya yang tinggal di pelosok hutan.
Saat kembali ke istana, sang raja merasa sangat lelah. Kakinya nyeri. Ini akibat perjalanan yang ditempuhnya begitu panjang dan bermedan berat. Dan itu benar-benar ditapaki dengan telapak kaki sang raja sendiri. Ia tidak mau tandu. Maklum, ia ingin merasakan juga apa yang dirasakan oleh prajurit-prajurit yang berjalan mengiringnya dalam perjalanan itu.
Perjalanan itu bukanlah perjalanan pertama dan yang terakhir. Sang raja telah berjanji akan selalu berkeliling dan mendekat kepada rakyatnya. Tapi, nyeri kaki yang dirasakannya membersitkan ide untuk tidak akan melakukan tur seperti itu lagi. Hati kecil sang raja menolak. Tidak. Bukan begitu. Itu tidak bijaksana.
Sambil memijit-mijit kakinya yang sakit, sang raja berpikir keras. Bagaimana caranya bisa berjalan jauh tanpa perlu merasakan nyeri di kaki? Aha, dia menemukan jawabannya. “Kalau saja jalan-jalan yang aku lalui dilapisi kulit dan permadani, tentu kakiku akan merasa nyaman,” begitu gumamnya.
Segera raja itu memerintahkan para prajuritnya untuk melapisi jalan dengan kulit. Semua jalan, tanpa kecuali. Namun, sebelum proyek besar itu dilaksanakan, penasehat raja menginterupsi.
“Tuanku, jika rencana itu dilaksanakan kita akan memerlukan banyak sekali kulit dan permadani. Biayanya besar. Akibatnya, menguras keuangan negara. Jelas itu bukan keputusan yang bijak,” kata sang penasihat raja.
Sang raja tertegun mendengar bantahan atas titah pertamanya itu. Tapi, karena ingin mewarisi kebijakan raja-raja pendahulunya, ia mencoba berlapang dada.
“Lalu, apa pendapatmu tentang hal ini?” tanya sang raja.
Sang penasihat bangkit dari tempat duduknya, mendekat ke singgasana raja.
“Tuanku, mengapa Anda harus mengeluarkan begitu banyak biaya hanya untuk kenyamanan kaki Anda? Alangkah hematnya jika Anda potong sedikit kulit lalu lapiskan ke kaki Anda?” kata si penasihat bijak.
Raja terkejut. Itu ide cerdas. Raja setuju. Ia batalkan proyek melapisi jalan dengan kulit. Ia perintahkan seorang pandai melapisi alas kakinya dengan kulit. Ya, sang raja memilih membuat “sepatu” untuk mengatasi rasa nyeri akibat perjalanan mengunjungi rakyatnya.
Teman, ada pelajaran yang menarik dari kisah di atas. Untuk membuat dunia menjadi tempat yang nyaman untuk hidup, tidak perlu dengan jalan mengubah dunia. Kadang cukup dengan mengubah cara pandang kita saja. Karena, segala ketidaknyamanan yang kita rasakan seringkali berasal dari kekeliruan kita dalam menafsirkan dunia.
Dunia yang kita lihat adalah dunia yang ada dalam pikiran kita. Dunia yang sangat personal. Dimana dunia itu kita artikan sebagai milik kita sendiri. Penghuninya hanya kita sendiri. Tidak ada orang lain di sana. Akibatnya, ketika tertimpa musibah, kita menganggap dunia kiamat. Dan, menganggap kita sebagai manusia yang paling menderita yang pernah diciptakan Tuhan. Bila mendapat nikmat, kita melihat dunia tidak punya cacat cela.
Teman, seperti itulah kita dan dunia persepsi kita. Akibatnya, tidak jarang kita melakukan “kebodohan” seperti raja dalam kisah tadi: melapisi semua ruas jalan dengan kulit dan permadani. Padahal, ada perspektif lain untuk kasus yang sama. Perspektif sang penasihat. Dan, ternyata lebih pas.
“Nah, teman, semoga Allah swt. melindungi kita dari sifat picik. []