DUA tahun lalu saya pernah punya cerita tentang sepatu. Istriku tercinta butuh sepatu. Ya, kebetulan ada rezekinya.
Kita jalan ke toko sepatu. Maksudnya pake motor ya.
Sampe sana, saya diminta milihin. Saya milihan lah. Ada sejam kali milih-milih. Saya kalau milih barang warnanya paling ga jauh dari grey. Atau hitam putih. Sebagian orang di dunia ini emang hanya bisa melihat dalam moitif garis-garis doang.
BACA JUGA:Â Suami, Dengarkanlah Istrimu!
Ujung-ujungnya, dia milih pilihan sendiri. Okey juga sih. Tapi pas liat harga, ga jadi. “Kemahalan. Aku ga biasa pake sepatu seharga itu,” ujarnya sambil meletakan lagi benda itu.
“Beneran nih? Kalau kamu suka, ya ga napa. Emang kamu berharap sepatu seharga 50rb gitu?” tanya saya.
Kami meninggalkan toko sepatu itu. Tapi matanya masih mengekor pada sepatu barusan.
Beralih ke toko berikutnya. Milih sepatu lagi. Kali ini ga ada yang cocok. Pulang lah. Agak gerimis.
Sampe di rumah, istri saya kembali bahas sepatu di toko pertama. “Kan tadi ada lagi diskon yaa…”
BACA JUGA:Â Gunting Kuku
Besoknya kembali lagi ke toko sepatu itu.
Kali ini sepatu itu udah ga ada. Udah ada yang beli.
Akhirnya, kami makan bakso aja di food court-nya. Yet, we were happy.
Moral story: Sungguh, perasaan perempuan itu kadang (kadang lho yaa) paling sulit dipahami. []