Oleh: Musa Yusuf, facebook.com/yusufisme
SORE itu setelah pulang kerja, Pak Kamsud mampir di sebuah Warteg. Di warung itu pak Kamsud ditanya oleh Pak Karman pemilik Warteg tentang pendapatnya mengenai mengucapkan Selamat Hari Raya kepada pemeluk agama Non-Muslim. Lalu terjadilah dialog antara mereka berdua, Pak Karman pun memulainya dengan sebuah pertanyaan;
“Menurut Pak Kamsud, apa sih hukumya ngucapin selamat hari raya kepada non-Muslim?”
“Kalo menurut saya sih, itu pekerjaan sia-sia dan gak ada gunanya.”
“Lho, koq gak ada gunanya? Kan itu bukti bahwa kita toleran terhadap umat lain?”
Baca Juga: Bentuk Toleransi Itu Ya Begini, Jangan Keliru
“Sekarang saya tanya, orang yang makan di Warteg Pak Karman ini apakah hanya orang Islam saja?”
“Tentu tidak lah pak.” Jawab Pak Karman
“Apakah Pak Karman pernah punya masalah dengan para pelanggan?”
“Kalo masalah pelanggan yang nge-bon dan ngutang sih banyak pak, tapi kita mah tetep akur-akur aja.”
“Pernah ngucapin selamat atau hadir dalam hari raya mereka yang non-muslim?”
“Ya nggak pernah tho, pak.”
“Nah, itu bukti bahwa Pak Karman sudah mampu hidup bertoleran dengan berbagai umat beragama dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga saya pak, saya telah hidup berdampingan dengan non-muslim selama puluhan tahun tanpa sekali pun mengucapkan selamat terhadap hari raya mereka.”
“Hmm… tapi bukan berarti kalau hubungan kita sudah rukun, lantas kita tidak boleh mengucapkan selamat hari raya kepada mereka tho, pak? Kan kita mengucapkannya untuk memperkuat jalinan yang telah ada?”
Baca Juga: Memaknai Toleransi
“Sekarang saya tanya Pak Karman, kalau ada orang yang sedang mabuk datang ke sini, apakah pak Karman akan mengucapkan kepadanya ‘Selamat Mabuk’ dengan alasan agar pemabuk itu hubungannya tetap baik dengan bapak?”
“Kalo itu mah namanya nggak ada kerjaan Pak Kamsud, orang mabuk koq malah diselameti, pertanyaan bapak ini aneh-aneh saja.”
“Baik, saya akan tanya pertanyaan yang lebih aneh lagi; apa pendapat Pak Karman jika kita mengucapkan ‘Selamat Mencuri’ kepada maling saat mencuri, ‘Selamat Membunuh’ kepada pembunuh bayaran saat beraksi, ‘Selamat Berzina’ kepada wts yang mau berangkat ‘dinas’, atau ‘Selamat Berjudi’ kepada orang-orang yang taruhan gambling di casino, dan juga ‘Selamat Teler dan nge-Fly’ kepada orang-orang yang sedang madat dan mabuk-mabukan di bar ataupun diskotik?”
“Maksud bapak gimana tho? Saya koq belum nangkap?”
“Maksud saya begini Pak Karman, di dalam Islam, dosa itu telah dibagi ke dalam beberapa tingkat, dosa terbesar dan tertinggi itu adalah Syirik dan Kufur, baru setelah itu dosa-dosa lainnya seperti membunuh, mencuri dan sebagainya. Kalo kita merasa janggal mengucapkan ‘Selamat Mabuk’ kepada seseorang saat minum Vodka, atau ‘Selamat Membunuh’ kepada tentara israel saat ngebom Gaza misalkan, aturannya kita lebih merasa janggal lagi jika kita mengucapkan ‘Selamat Bersyirik’ atau ‘Selamat Berkufur-ria’ kepada orang-orang yang secara terang-terangan memperingati hari raya mereka yang sudah jelas itu dosa yang lebih besar daripada minum arak misalkan.”
“Ya beda lah Pak Kamsud, mencuri dan membunuh itu kan menzalimi orang lain, masa kita tega ada orang kecurian justru kita mengucapkan selamat kepada pencurinya? Kalo mengucapkan selamat hari raya kan gak ada yang terzalimi.”
Baca Juga: Kisah Toleransi Rasulullah dalam Perjanjian Hudaibiah
“Nah, itu dia Pak Karman, kepada sesama manusia aja kita gak sampe hati ngucapin kaya gitu, padahal orang yang kecurian itu bisa jadi bukan siapa-siapa kita, lantas bagaimana kita dengan Allah pak Karman? Yang telah memberi kita nyawa, rejeki, kehidupan, dunia dan seisinya, masa’ kita tega banget ngucapin ‘Selamat’ kepada orang yang terang-terangan menyekutukan-Nya? Dimana adab dan nurani kita pak? Sungguh terlalu. Terus, kalo bapak bilang gak ada yang terzalimi itu juga salah pak, sebab orang yang di dalam hatinya terdapat kesyirikan sesungguhnya dia tengah menzalimi diri sendiri. Innas-Syirka ladzulmun ‘adzim. Sesunguhnya syirik itu adalah kezaliman yan sagat besar.”
“Tapi kan, Islam itu agama Rahmatan Lil ‘Alamin pak, tiada paksaan untuk masuk Islam.”
“Pertama, di dalam Al-Qur’an itu yang disebut sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin itu Rasulullah, bukan Islam, walaupun keduanya terdapat keterikatan kuat, tapi ini sekedar informasi saja buat bapak biar gak asal ikut-ikutan dalam menggunakan Istilah. Kedua, paksaan masuk Islam memang gak ada, tapi siksa bagi yang menolak Islam itu kekal dan nyata, pak.”
“Terus begini pak, saat saya misalkan mengucapkan selamat natal, itu kan saya sama sekali tidak mengakui keyakinan mereka. Begitu halnya saat saya datang ke gereja mereka, saya juga tidak ikutan berdoa seperti mereka.”
“Itu sama persis saat bapak pergi ke diskotik dan tempat perjudian. Apakah bapak main judi dan minum arak di sana? Tidak kan? Apakah bapak meyakini bahwa kelakuan para pemabuk dan penjudi itu baik? Tidak kan? Lantas ngapain bapak bela-belain ngucapin ‘Selamat berjudi’ atau ‘Selamat mabuk’ kepada mereka. Ini makanya saya menyebutnya sebagai hal yang tiada gunanya. Unsur manfaatnya itu terletak di mana? Jangan terlalu berkilah dengan memaksakan pembenaran yang terlalu dibuat-buat lah pak.”
BERSAMBUNG