“TAPI pak, tadi pagi di TV saya lihat ceramah Syaikh Rojih Al-Mikawy yang membolehkan ucapan selamat natal kepada kaum nasrani. Beliau kan ulama besar.”
“Aduh Pak Karmaan, saya ini hanyalah muqallid yang masih bodoh, mbok ya jangan disamakan dengan Syaikh Rojih. Ketinggian. Beliau itu kan ulama internasional yang sudah diakui di mana-mana. Saya juga banyak mendapat pelajaran dari buku-buku dan ceramah beliau. Jadi kalo seumpamanya saya tak sependapat dengan beliaudalam sebuah masalah, bukan berarti saya selevel dengan beliau. Tidak, sama sekali tidak. Namun saya hanya memandang, pendapat ulama lain yang selevel Syaikh Rojih dalam permasalahan tersebut lebih tepat dan mengena. Oiya, emang tadi pagi apa yang beliau sampaikan?”
“Beliau tadi pagi menyampaikan, bahwa Islam itu sangat toleran kepada Ahlu Kitab, kita dibolehkan memakan hidangan dari mereka, menikah dengan mereka, dan bahkan Islam telah memberikan bagian khusus bagi mereka dari harta Zakat, sebab mereka masuk dalam golongan ‘Muallafah Qulubuhum’. Islam saja membolehkan hal-hal besar seperti itu, apalagi hanya sekedar ucapan selamat hari raya.”
Baca Juga: Kisah Toleransi Rasulullah dalam Perjanjian Hudaibiah
“Jadi begini Pak Karman, tiga hal yang bapak sebutkan tadi merupakan bukti bahwa Islam sangat toleran dalam berdakwah. Pendekatannya persuasif dan tidak frontal. Kita dibolehkan saling memberikan hidangan kepada Ahlu Kitab, yang dengan demikian dapat menjalin kedekatan. Coba saja bapak kasih saya gratisan makan di Warteg bapak ini seminggu sekali saja, pasti di lain waktu saya akan membalas kebaikan bapak, dan dengan demikian kita akan semakin guyub dan rukun. Kedua, lelaki Muslim juga dibolehkan menikahi wanita Ahlu Kitab dan tidak sebaliknya. Mengapa? Karena kepala keluarga itu dominan mempengaruhi anggota keluarganya, sedangkan istri, lebih rentan terpengaruh oleh suaminya. Pak Karman gak percaya? Lihat saja itu ibu-ibu di kampung kita, waktu Pemilu kemarin milih siapa? Rata-rata pasti pilihannya ikut suaminya. Adapun mengenai golongan ‘Muallafah Qulubuhum’ atau orang-orang yang hatinya dapat ditaklukkan dan dikukuhkan kepada Islam, mereka diberi zakat untuk menarik simpati rival-rivalnya yang non-Muslim agar mereka ikut masuk Islam juga. Mereka yang lemah kondisi ekonominya ketika kafir, dengan memberikan zakat kepada mereka tentunya akan membantu finansialnya, sehingga tumbuh di hati mereka rasa mantap bahwa Islam benar-benar Agama yang peduli terhadap kaum lemah. Di samping itu, akan menarik perhatian bagi komunitas lamanya untuk mengikuti jejaknya masuk Islam. Dengan tiga hal ini, sudah terbukti banyak non-Muslim yang akhirnya mendapat hidayah dan masuk Islam. Adapun mengucapkan selamat hari raya kepada mereka, sama sekali tidak bisa disamakan dengan satupun dari tiga hal di atas. Sekarang coba tunjukkan kepada saya satu saja non-Muslim yang masuk Islam karena lantaran diucapkan ‘selamat’ atas hari raya mereka. Kita juga sebagai orang Islam, apakah dengan diberi ucapan Selamat Idul Fitri dari non-Muslim lantas kita terenyuh dan tertarik untuk pindah agama? Sama sekali tidak. Berbeda halnya jika seorang Muslim yang miskin diberi bantuan finansial, berobat gratis dan mie instant, tak jarang yang akhirnya takluk dan rela melepas akidahnya. Selain itu, saya paling tidak setuju apabila selamat hari natal itu dianggap sebagai sekedar ucapan. Coba saja dibalik, orang non-Muslim kita suruh mengucapkan Syahadat dengan alasan itu hanya sebuah ucapan, apa mereka mau?”
Baca Juga: Memaknai Toleransi
“Wah, masuk akal juga keterangan Pak Kamsud. Tapi kalau boleh tahu, inti kesimpulan dari keterangan bapak itu apa sebenarnya?”
“Intinya kembali ke awal. Jika bapak tanya saya tentang hukum mengucapkan selamat hari raya kepada non-Muslim saya hanya bisa mengatakan itu adalah hal yang sia-sia dan tak ada gunanya. Saya tidak berani mengatakan Halal atau Haram karena itu porsinya Mujtahid Fatwa, bukan kapasitas saya. Dan karena di balik Halal atau Haram terdapat konsekUensi panjang yang tidak sepele. Kedua, ucapan Selamat itu paling tepat disematkan kepada Rasulullah dan hamba-hamba yang saleh. Setiap kali kita Shalat di dalam doa Tahiyyat kita membaca; ‘Assalamu ‘alaika Ayyuhan-Nabiyyu’ keselamatan bagimu wahai Kanjeng Nabi. ‘Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis-Shalihin’ keselamatan bagi kita dan bagi hamba-hamba Allah yang saleh. Ini juga selaras dengan Firman Allah; ‘Wassalamu ‘ala man ittaba’al-Huda’ dan keselamatan bagi orang yang mengikuti Hidayah, yaitu ajaran Rasulullah. Adapun yang ketiga, sekaligus ini kesimpulan yang terakhir dan terpenting, perut saya sudah benar-benar lapar Pak Karman. Saya datang ke Warteg bapak kan mau makan, lha koq tiba-tiba baru datang langsung diajak diskusi.”
“Ha ha ha… bisa aja Pak Kamsud ini. Ya sudah pak, monggo dihantam dulu makanannya. Itu pisang goreng kesukaan bapak masih anget, baru saja saya masak.”
“Okelah pak, tolong sekalian minta teh angetnya satu ya.”