“Ibu belum punya uang kan untuk membeli selembar kertas minyak buat menyampuli Buku Rapor?” Lanjutku.
Ibuku tidak memberikan jawaban apa-apa selain membiarkan aku melepas kertas dari kaca almari. Tetapi aku sempat melihat wajah ibuku agak memerah. Dibiarkannya aku menambal kertas yang aku lepas dari almari itu karena robek. Bukan lem seperti yang biasa di jual di toko yang aku gunakan untuk menggabungkan kembali sisi-sisi dan sudut-sudut kertas yang putus. Aku menggunakan butiran-butiran nasi sisa makan siang hari itu.
“Gimana Bu…?” Tanyaku pada ibuku sambil memperlihatkan Buku Rapor yang telah selesai aku sampuli. Ibuku tidak berkata apa-apa selain menganggukkan kepala sambil mencoba membenahi sudut-sudut yang masih kurang rapi.
“Semoga tidak terjadi apa-apa dan kelak kau jadi anak pintar dan bijak,” kata ibuku singkat pada akhirnya menjawab pertanyaanku.
Pagi itu di hari berikutnya aku bergegas ke sekolah dengan penuh semangat. Aku sangat bangga mengembalikan buku raporku ke sekolah karena disampaing telah aku sampuli sesuai warna yang diminta, tepat waktu, juga karena nilai-nilaiku tidak ada yang merah alias bagus-bagus. Namun, yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang sangat mengejutkan dan menyayat hati.
Peristiwa itu terjadi 46 tahun lalu, atau tepatnya pada tahun 1971. Kini aku adalah seorang dosen yang mengajar di sebuah perguruan tinggi. Kadang ketika aku berdiri di depan kelas di depan para mahasiswa, kenangan pahit itu muncul begitu saja di benakku yang membuatku merenung dan bertanya pada diri sendiri, apakah aku anak kreatif atau memang kurang ajar.
Dari peristiwa itu aku belajar untuk tidak terburu-buru menghakimi para mahasiswaku sebelum memahami persoalan mereka dengan baik. Jika perlu aku meminta klarifikasi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. []
Sumber: NU Online