SEJAK dulu hingga kini tidak pernah ada yang berubah di antara pertemuan Nung dan Fera. Walau waktunya berbeda, posisinya selalu sama; Nung tidak pernah cukup merasa besar berhadapan dengan Fera. Hidup membawanya hanya menjadi seorang buruh pabrik, bersuamikan buruh pabrik juga, dan beranak dua yang tidak cukup mendapat gizi. Dan Fera, seperti yang Nung dan teman-teman lain di SMA perkirakan, adalah mungkin yang diinginkan setiap wanita di dunia. Nung tahu, Fera pantas mendapatkannya Selain berasal dari keluarga berada, Fera juga cerdas—itu terutama yang membedakannya dengan teman-teman yang lain.
Selepas SMA, itu tujuh tahun yang lalu, Nung tidak lagi pernah bertemu dengan Fera. Kabarnya, Fera melanjutkan studinya ke luar negeri—Hukum jurusannya. Nung tidak harus begitu kehilangan Fera tentu saja, selain karena ia tidak begitu dekat dengan Fera, hanya sebatas teman-bertemu-sapa ‘Hai!’, Nung juga harus menyadari bahwa ia bukan siapa-siapa dalam kehidupan Fera. Dan maaf-maaf saja, Fera pun harus menerima bahwa iapun bukan siapa-siapa dalam kehidupan Nung. Masih ada Ani, Nadia, dan Sofi. Ketiga orang itu dulu mempunyai prioritas lebih dalam hidup Nung.
Maka pertemuan kali inipun bagi Nung tidak akan berarti banyak. Ketika mencari susu buat anaknya, mereka bertemu. Sebenarnya, Nung sama sekali tidak berniat membeli atau berbelanja di minimarket itu, hanya karena sulitlah susu itu di dapat di warung dan toko-toko biasa hingga ia harus memaksakan dirinya untuk membelinya di tempat itu.
Waktu itu, Feralah yang pertama kali menyapanya, “Kamu… maaf, kamu…Nung?”
Nung masih mengernyit. Ingatannya satu perseribu detik membawanya untuk segera mengenali wajah di hadapannya itu. Berambut keriting, berkaca mata, kulit hitam manis, dan…
“Aku Fera, Nung! Teman SMA kamu dulu…”
Nung menarik nafas. “Fera? Aswianida Fera?”
Perempuan itu tertawa. “Nung, gimana kabarmu sekarang…?”
Tidak enak rasanya tentu berbincang walau hanya basa-basi di dalam minimarket yang tengah banyak orang berbelanja. Nung tersenyum. Ia menyalami Fera—tanpa diduga Fera merangkulnya,. “Aku baik-baik saja….” ujar Nung.
“Aduh Nung, aku sungguh-sungguh sangat-sangat kangen pada teman-teman SMA dulu. Kita ngobrol dulu ya? Bayar dulu deh… Kita ke luar ya?”
Nung merahuh. Ini sudah jam tujuh malam. Suami dan dua anaknya tentu menunggunya. Tapi untuk teman SMA yang sudah tujuh tahun tidak pernah bertemu, sepertinya itu bisa dikompromikan. Mereka bergegas keluar, dan Nung tidak terkejut sama sekali ketika Fera membayarkan tiga kaleng susu yang dibawanya. Bagi Fera, uang sejumlah itu—Nung yakin—bukanlah masalah.
“Terima kasih, Fer. Kamu nggak harus repot-repot kok….” Basi-basi juga sebenarnya. Walau ia pun sama sekali tak keberatan. Ia bisa menghemat banyak bulan ini. Empat kaleng susu yang dibayari Fera tentu bisa menyisihkan sekian anggaran untuk kebutuhan lain.
Di luar, sebuah Corona putih menunggu. Nung langsung tahu bahwa itu adalah kendaraan Fera. Sejak SMA dulupun Fera selalu diantarkan oleh mobil yang Nung tak pernah ingat dan tahu apa namanya.
“Kita makan dulu ya Nung? Kamu lagi nggak buru-buru kan?”
Nung terdiam. Ia tidak tahu, apakah harus menolak ataukah mengiyakan. Ini sudah hampir pukul delapan malam, dan ia tahu pasti suaminya sudah sangat menunggunya. “Fera, malam ini suamiku masuk kerja. Dan aku harus menunggu anak-anakku…”
Fera tersedak, “Kamu sudah punya anak, Nung…? Wah, gimana ya… Ayolah Nung. Satu jam jam saja deh. Aku antar kamu pulang deh nanti…”
Selain setuju, apalagi yang bisa Nung tawarkan? Toh, ia masih punya waktu satu jam untuk bisa menemani Fera sebelum suaminya berangkat kerja. Menemani Fera? Ah, kok ya rasanya tiba-tiba Nung merasa jengah. Dulupun ia tidak pernah sempat untuk sekadar berpikir ia akan bisa menjadi teman Fera yang lebih akrab. Bukan minder. Sama sekali bukan. Tapi Nung lebih menyadari posisi yang telah diberikan kepadanya dan kepada Fera. Memang sudah begitu adanya.
Fera membawanya ke sebuah rumah makan—tapi lebih pantasnya hotel, restoran atau entahlah. Seumur-umur Nung pun tidak berkeinginan untuk tahu lebih banyak tempat-tempat seperti ini, karena baginya itu hanya merupakan sesuatu yang teramat mewah, jika tidak mau disebut pemborosan. Sekarang ini, Nung tentu saja akan lebih memilih untuk bisa membeli susu yang lebih banyak lagi buat kedua anak-anaknya daripada harus mengeluarkan sejumlah dana ekstra untuk hanya sekadar menikmati makanan di tempat-tempat seperti ini.
Fera bercerita cukup banyak. Dan Nung seperti biasanya mendengarkan saja. Sambil bercerita, Fera memesan dua mangkuk bubur ayam—satu untuknya dan satu lagi untuk Nung.
Bagi Nung, cerita Fera tidak cukup menarik, walau tidak cukup membosankan juga. Nung lebih fokus menghadapi bubur ayamnya. Seumur-umur Nung baru merasakan bubur sedemikian. Bubur itu begitu harum, ada tomat, sosis, dan dipenuhi dengan daging cincang. Mungkin jika si bungsu memakannya, ia akan senang.
“Aku kembali ke Indonesia sudah hampir dua tahun, Nung. Tapi tidak satupun teman-teman SMA dulu bisa kuhubungi. Bahkan ketika aku menikahpun, aku tidak tahu harus menghubungi siapa dan kemana…”
Suami Fera seorang insyinyur mesin lulusan universitas Amerika juga, dan sekarang bekerja di ibu kota sebagai direktur sebuah perusahaan terkenal. Nung tidak harus heran tentu saja. Apa yang bisa menghalangi Fera untuk mendapatkan semua itu? Fera cantik, pintar, tidak sombong, dan ia juga taat beragama. Nung tahu itu. Walau tidak terlalu dekat, Nung dulu sering melihat Fera di mushola sekolah di waktu-waktu dhuhur atau ashar—sesuatu yang amat jarang dilakukan oleh teman-teman dekat Fera yang bisa dikatakan cuma ‘nebeng’ di balik kekayaan dan kepintaran Fera. Dan sampai sekarang, Nung juga tahu, hidup Fera bahagia.
Fera memesan sesuatu kembali. Kali ini hanya dua buah jus mangga. Nung terdiam saja. Ia melihat bubur yang masih disantapnya masih tersisa cukup banyak. Mungkin bisa dibungkus ya untuk si bungsu?
“Fera, ini sudah hampir jam sembilan. Sebentar lagi suamiku harus masuk kerja. Mungkin lain waktu kita bisa berbicang lagi…”
Fera tertawa renyai. “Aduh Nung, padahal aku masih kangen lho…”
Nung tersenyum. Ketika Fera hendak beranjak membayar ke kasir, Nung berkata, “Fera, bisakah aku meminta pelayan untuk membungkus sisa buburku ini?”
“Untuk apa, Nung?”
Nung terdiam. Ia sejenak gelagapan. “Nggh…., untuk.. kucing … di rumah. Aku tidak terbiasa menyediakan makanan baginya.”
Fera tersenyum. Ia menyuruh seorang pelayan untuk membungkus bubur itu. Cukup lama dia di sana. Sampai di mobil Nung tersentak. Bungkusan bubur itu terasa lebih banyak dan gemuk, “Fera, kamu membeli lagi bubur yang baru ya?”
Fera menoleh. Ia membuka kacamata hitamnya. “Nggak, memangnya kenapa?”
“Bungkusan ini kok terasa berat ya? Padahalkan tadi sisaku sepertinya tidak sebanyak ini deh…”
“O itu Nung. Tadi aku menyuruh pelayan restoran untuk menambahkannya dengan bubur-bubur dari tamu yang lain. Biar kucingmu gemuk….”
Nung terlongong. Tapi cuma sekejap. Ditambah sisa bubur lain? Biar kucingnya gemuk? Di rumahnya sama sekali tidak ada kucing. Di depan, gang rumah kontrakannya sudah mulai kelihatan. “Di sini saja ya, Fer. Mobil kamu tidak mungkin masuk ke gang itu..”
“Ya, terima kasih ya Nung. Janji ya kamu harus telepon aku…”
Fera mencium pipi Nung. Nung hanya diam saja. Tangannya masih memegang bungkusan bubur itu. Beberapa saat setelah turun dari mobil, Nung berpura-pura bergegas masuk gang. Ketika dilihatnya mobil Fera sudah melaju dan menghilang, Nung melemparkan bungkusan buburnya ke tong sampah. Ia merahuh. Mungkin masih belum waktunya anak bungsunya menikmati bubur ayam mewah penuh gizi. []
Maret 2002