SETIAP makhluk hidup membutuhkan tempat untuk tinggal dan bernaung dari teriknya sinar matahari dan guyuran air hujan. Rumah, itulah nama yang kita sebut sebagai tempat untuk berteduh, bersatu bersama keluarga. Di dalamnya tersingkap berbagai cerita baik suka maupun duka.
Sebagai panutan kita, yakni Rasulullah SAW, beliau juga mempunyai kisah tersendiri di dalam rumahnya. Tentunya hal ini dapat menjadi insiprasi bagi kita untuk senantiasa mengikuti jejaknya. Sebab, apa yang dilakukan beliau merupakan perkara yang dapat mengarahkan kita untuk menggapai ridho Allah SWT. Lalu, seperti apa Rasulullah SAW di rumahnya?
Rumah seseorang merupakan bukti nyata yang menjelaskan kebaikan akhlaknya, kesempurnaan pribadinya, kebaikan hatinya dan kejernihan jiwanya. Ia berada di belakang kamar dan tembok, tidak ada seorang pun yang melihatnya. Ia bersama budaknya atau pembantunya, atau istrinya, berperilaku sederhana, sangat tawadhu’ tanpa dibuat-buat dan pura-pura. Padahal, beliau adalah tuan yang berhak memerintah dan melarang di rumahnya. Semua yang berada di bawah kekuasaannya adalah orang-orang lemah.
Perhatikan keseharian Rasul dan pemimpin umat ini. Bagaimana beliau di rumahnya dengan kedudukan yang agung dan derajat yang tinggi ini.
Aisyah ditanya, “Apa yang dilakukan Rasulullah SAW di rumahnya?” Ia berkata, “Beliau adalah manusia biasa, mencuci pakaiannya, memerah susu kambingnya dan mengurus dirinya sendiri,” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Ini adalah contoh bagi kerendahan hati dan ketidak sombong serta tidak angkuh. Beliau berperan serta dalam mengurus rumah. Manusia pilihan melakukan semua ini dalam rumahnya di mana cahaya agama memancar darinya, tidak mendapatkan sesuatu untuk mengganjal perutnya.
An-Nu’man bin Basyir berkata menceritakan keadaan Nabi SAW, “Aku telah melihat nabi kalian, beliau tidak mendapatkan kurma yang buruk sekalipun untuk mengganjal perutnya,” (HR. Muslim).
Aisyah, istri Rasulullah SAW bersabda, “Kami keluarga Muhammad, pernah mengalami satu bulan tidak menyalakan api, makanan kami hanyalah kurma dan air,” (HR. Bukhari).
Namun, ini semua tidak ada yang melalaikan Nabi SAW beribadah dan taat kepada Allah. Jika meliau mendengar “Hayya alash shalah, hayya alal falah,” beliau segera memenuhi panggilan tersebut dan meninggalkan dunia di belakang beliau.
Dari Al-Aswad bin Yazid berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah RA, ‘Apakah yang dilakukan oleh Nabi SAW di rumahnya?’ Ia berkata, ‘Beliau membantu pekerjaan keluarganya, jika mendengar adzan, maka langsung keluar’,” (HR. Bukhari).
Tidak pernah diberitakan bahwa beliau shalat fardhu di rumahnya sama sekali. Kecuali ketika beliau sakit, dan menderita demam berat dan sulit bagi beliau keluar rumah. Dan hal ini terjadi ketika beliau sakit menjelang meninggal.
Walau pun beliau sangat kasih kepada umatnya dan sayang kepada mereka, akan tetapi beliau sangat bersikap keras bagi yang meninggalkan shalat berjamaah. Beliau bersabda, “Sungguh aku telah berniat agar didirikan shalat, dan menyuruh seseorang menjadi imam, kemudian aku pergi bersama beberapa orang yang membawa kayu bakar, untuk pergi ke suatu kaum yang tidak hadir shalat berjamaah, lalu membakar rumah-rumah mereka,” (Muttafaq alaih).
Hal ini tidak lain karena pentingnya shalat berjamaah dan agungnya kedudukannya. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali kalau ada halangan,” (HR. Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban).
Adapun halangan adalah ketakutan dan sakit.
Apakah halangan orang sekarang yang shalat di samping istrinya dan meninggalkan masjid. Mana halangan sakit atau takut?
Begitulah kebiasaan yang dilakukan Rasulullah SAW di rumahnya. Ia senantiasa mengerjakan tugasnya di dalam rumah, tanpa mengesampingkan kewajibannya untuk menegakkan shalat. Bahkan, beliau tidak pernah melewatkan kesempatan shalat berjamaah di masjid. []
Sumber: Suatu Hari di Rumah Rasulullah/Karya: Abdul Malik al Qasim/Penerbit: Daarul Qaasam