Dalam bahasa Jawa ada istilah ‘surtanah’, yang artinya mengadakan selamatan ketika salah seorang keluarga meninggal, sesaat sebelum jenazah dikuburkan. Sesudah ‘surtanah’, ada lagi selamatan yang diadakan pada hari ketiga sesudah seseorang meninggal dan dikubur. Demikian seterusnya, selamatan diadakan sesudah hari ketujuh, keempatpuluh, keseratus, keseribu, kemudian tiap tahun.
KESEMUANYA itu adalah selamatan yang tidak ada tuntunannya dalam agama Islam, tetapi merupakan adat-istiadat Jawa. Allah tidak memerintahkan, Rasulullah tidak memberi contoh. Ketika hadapi kematian istrinya, Rasulullah tidak mengadakan selamatan ‘surtanah’. Juga tidak selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari, setiap tahun. Bahkan juga tidak mengadakan tahlilan.
Cara-cara demikian, kalau kita sudah memeluk agama Islam, seharusnya ditinggalkan. Karena selain membutuhkan biaya yang besar, juga melanggar perintah agama. Lebih-lebih kalau untuk mengadakan selamatan itu harus dengan berutang atau menjual barang-barang miliknya.
Sekali lagi, tinggalkanlah tata cara seperti itu. Adalah tidak benar kalau ada yang mengatakan bahwa apabila kita tidak mengadakan selamatan-selamatan semacam itu dianggap tidak menghormati yang sudah meninggal.
Memang sangat dirasa kejam. Begitu mati begitu diam. Upacara tidak dijalankan. Seperti matinya kucing dan hewan. Tetapi apa mau dikata, bila Allah sudah menata. Nabi Rasul contoh utama, kita Muslim mengikutinya.
Setelah kita memeluk agama Islam hendaklah kita berislam sepenuhnya. Jangan separuh-separuh. Jangan setengah-setengah. Dilihat dari segi lahiriahnya sudah Islam. Tetapi dari segi batinnya belum seluruhnya Islam. Atau kepalanya sudah Islam tetapi tangan dan kakinya belum. Jelasnya, kita sudah menyatakan Islam. Sudah mengerjakan kewajiban-kewajiban agama. Tetapi di samping itu masih juga suka mengambil barang milik orang lain. Atau masih senang pergi ke tempat-tempat maksiat.
Memang berat untuk menjadi Islam seutuhnya, tetapi pahalanya juga besar sekali di hadirat Allah SWT.
Bagi kita orang Islam, cara menghormati dan memuliakan orang tua atau leluhur kita yang sudah meninggal, tidak dengan memasang batu nisan. Atau membuatkan rumah di atas makamnya, dan sebagainya. Menurut tuntunan Rasulullah, batu nisan, rumah makam (Jawa: cungkup, gentha) dan sebagainya itu termasuk hal yang dilarang oleh agama. Sebab dengan kita memasang batu nisan atau membuat rumah/bangunan di atas makam dapat menjurus ke arah penghormatan yang berlebih-lebihan. Bahkan memuja-muja kepada yang sudah dimakamkan, dan sebagainya. Seharusnya hal tersebut kita tinggalkan, tidak kita kerjakan.
Sudah pula menjadi kebiasaan bangsa Indonesia pada umumnya, suku Jawa khususnya, setiap bulan Ruwah (Sya’ban) atau bulan Syawal berziarah ke makam orangtua atau leluhurnya sambil menabur bunga di atas makam.
Ziarah tersebut amat diperlukan, mengalahkan pekerjaan yang lain. Meskipun tempatnya jauh, harus ditempuh dengan pesawat udara, kapal laut, kereta api, bus dengan berdesak-desakan dan membawa barang yang banyak, di samping masih menggandeng anak-anak kecil. Semuanya itu tidak menyurutkan langkahnya karena ada rasa “kewajiban” untuk berziarah. Takut dikatakan sebagai anak yang tidak berbakti kepada orangtuanya kalau tidak berziarah sedikitnya setahun sekali.
Untuk menghormati atau berbakti kepada orangtuanya yang sudah meninggal dunia, Islam memberikan cara yang mudah, murah dan tidak menyulitkan. Yaitu tiap-tiap sebelum atau sesudah shalat wajib berdoa memohon kepada Allah.
“Ya Allah yang Maha Asih, semoga Paduka mengasihi bapak dan ibuku, nenek moyangku, para leluhurku yang sudah mendahului kami dalam keadaan iman dan Islam. Ya Allah yang Maha Pengampun, semoga Paduka memberikan ampunan kepada mereka semuanya. Sungguh Allah Dzat yang Maha Belas Kasih dan Maha Pengampun. Amin ya Robbal Alamin.”
Bolehkah kita membersihkan kuburan pada tiap bulan atau tiap tahun? Boleh saja! Tetapi ingat, kita sekarang hidup di abad XX, abad kemajuan, abad pembangunan. Makam dan kuburan seharusnya menjadi milik umum. Dikelola oleh kelurahan, kecamatan atau kabupaten/kotamadya. Diangkat juru kunci sebagai pegawai tetap, dibayar seperti pegawai negeri dan diberi hak pensiun. Jumlahnya disesuaikan dengan luas kuburan/makam.
Juru kunci itulah yang berkewajiban membersihkan kuburan/makam setiap hari, seperti tukang kebun sekolah membersihkan halaman dan pekarangan sekolah. Batu nisan tidak usah dipasang—apalagi bangunan makam. Kuburan diatur yang rajin berderet-deret rapi teratur.
Para ahli waris kadang-kadang berziarah, tetapi tidak harus setiap bulan, setiap tahun. Mendoakan kepada yang sudah meninggal dilakukan dari rumah masing-masing tiap selesai shalat. Insya Allah, cara inilah yang benar menurut tuntunan Islam. Dan menurut aturan tata kota pun tampak rapi dan rajin, meresapkan pandangan serta tidak menjurus ke arah perbuatan memuja-muja makam atau mengeramatkannya. []
(Artikel ini disunting oleh: Yusuf Maulana. Pernah dimuat dalam buku “Pesan dan Warisan Pak A.R.”, Soeparni S Adhy [ed.], 1995, Yogyakarta: PT BP Kedaulatan Rakyat, halaman 19-21)