SUATU sore, saya dan anak perempuan saya paling kecil beli jamu gendong yang biasa lewat depan rumah. Saya tahu bahwa untuk dua porsi jamu untuk anak kecil dan dewasa biasanya tiga ribu rupiah. Saya menyerahkan uang empat ribu rupiah. Saya menunggu kembalian.
Tapi bahkan ketika si pedagang jamu itu hendak beranjak pergi, ia tidak mengatakan satu katapun soal kembalian itu.
Akhirnya saya berkata, “Teh, bener segitu harganya? Khawatirnya saya kurang nih.”
BACA JUGA: Tahu yang Remuk
Dia tampak gelagapan. “Eh di saya masih ada seribu lagi, Pak. Saya ga ada seribuan, jadi saya simpan dulu di saya ya.”
Saya tersenyum mengangguk. Lebih dari sebulan, ia lewat depan rumah kami, tapi tak pernah sekalipun membahas soal uang seribu itu. Saya tetap tersenyum padanya. Namun, tukang jamu ini niscaya sudah kehilangan pelanggan satu rumah. Hanya karena uang seribu.
Di satu siang yang lain, saya berdua rekan di tempat kerja, membeli mie ayam. Dua mangkuk mie adalah 14 ribu. Uangnya 50 ribu. Si mas pedagang mie ayam tampak kesana kemari berusaha menukarkan uang lima puluh ribuan itu, karena tampaknya ia tak ada uang receh lagi. Tak dapat.
BACA JUGA: Aa Ganteng di Tukang Kupat Tahu
Ia kembali, menyodorkan uang 35 ribu ke saya dan berkata, “Pak, maaf ini di saya masih ada seribu lagi. Nanti ingetin lagi saya ya Pak kalau Bapak beli mie lagi masih ada seribu di saya.”
Saya menerima uang kembalian dan tersenyum. “Ga masalah Mas, ga usah dikembalian kok yang seribu itu.”
Si mas pedagang mie ayam mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Uang seribu perak, bagi sebagian kita, tentu kehilangannya, tak akan menjadikan kita miskin. Pun ketika kita menerima atau mendapatkannya, tak akan membuat kita kaya. Tapi perkataan, budi bahasa, dan sikap yang membuat maknanya berbeda. []