TANYA: Saya sering meninggalkan shalat lima waktu karena banyak alasan. Bagaimana hukumnya?
PA
JAWAB: Dikutip dari islamqa.ca., Imam Ahmad berkata bahwa kufurnya orang yang meninggalkan shalat adalah pendapat yang kuat. Dalil yang menunjukkan hal tersebut ditunjukkan oleh Al-Quran dan Sunah Rasul-Nya seta perkataan para salaf dan pandangan yang benar (Asy-Syarhul Mumti Ala Zaadil Mustaqni, 2/26)
BACA JUGA: Shalat sambil Menahan Kentut, Begini Hukumnya
Orang yang memperhatikan nash-nash dalam Al-Quran dan Sunah, akan mendapatkan bahwa dalam keduanya terdapat dalil-dalil yang menunjukkan kufurnya orang yang meninggalkan shalat sebagai kufur akbar (besar) yang menyebabkannya keluar dari agama.
Di antara dalilnya adalah:
Firman Allah Ta’ala,
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (سورة التوبة: 11)
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” SQ. At-Taubah: 11
Pemahaman ayat ini adalah bahwa Allah telah tiga syarat yang menjadi batasan untuk membedakan antara kita dan kaum musyrikin. Mereka bertaubat dari syirik, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka taubat dari syirik dan tidak menegakkan shalat serta tidak menunaikan zakat, maka mereka bukan saudara kita. Jika mereka menunaikan shalat dan tidak menunaikan zakat, maka mereka bukan saudara kita. Persaudaraan dalam agama tidak dianggap hilang, kecuali jika seseorang keluar dari agamanya. Dia tidak hilang dengan kefasikan atau kekufuran yang bukan kekufuran (kufur kecil).
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا (سورة مريم: 59-60)
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” SQ. Mrayam: 59-60.
Pemahamannya adalah bahwa Allah Ta’ala berkata terhadap orang yang melalaikan shalatnya dan mengikuti hawa nafsunya, “Kecuali mereka yang bertaubat dan beriman.” Menunjukkan bahwa mereka saat melalaikan shalatnya dan mengikuti syahwatnya, bukanlah orang-orang mukmin.
Adapun petunjuk sunah tentang kufurnya orang yang meninggalkan shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Sesungguhnya, batas antara seseorang dengan syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, bab Al-Iman, dari Jabir bin Abdullah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Dari Buraidah bin Hushaib radhiallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر ” رواه احمد وابو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه .
“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, siapa yang meninggalkannya, maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Yang dimaksud kufur di sini adalah kufur yang dapat mengeluarkannya dari agama, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjadikan shalat sebagai batas antara orang beriman dengan orang kafir. Sebagaimana diketahui bahwa agama orang kafir berbeda dengan agama Islam, maka siapa yang tidak menunaikan janjinya, maka dia kafir.
Juga terdapat hadits Auf bin Malik radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ (رواه مسلم)
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang shalat bersama kalian dan kalian shalat bersamanya. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka benci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” Ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, apakah boleh kami singkirkan mereka dengan pedang?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka menunaikan shalat.”
Dalam hadits ini terdapat dalil tentang menggulingkan pemimpin dan memerangi mereka dengan pedang, jika mereka tidak melakukan shalat dan tidaklah para pemimpin boleh digulingkan kecuali jika mereka telah nyata-nyata melakukan kekufuran yang nyata yang kita miliki dalilnya dari Allah Ta’ala. Berdasarkan ucapan Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu,
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (متفق عليه)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memanggil kami, maka kami berbaiat kepadanya. Di antara baiat yang beliu ambil dari kami adalah kami berbai’at untuk mendengar dan taat, baik saat semangat atau lesu, sulit atau lapang dan mengalahkan kepentingan kami serta tidak menggulingkan pemerintahan dari pemiliknya. Beliau berkata, ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas telah kalian dapat buktinya dari Allah Ta’ala.” (Muttafaq alaih)
Berdasarkan hal ini, maka sikap mereka yang meninggalkan shalat sehingga menjadi alasan dibolehkannya menyingkirkan pemimpin dan memerangi mereka dengan pedang, merupakan kekufuran nyata yang telah didapatkan bukti-buktinya dari Allah…
Jika ada yang mengatakan, “Tidak bolehkan memahami nash-nash yang menunjukkan kufurnya orang yang meninggalkan shalat dengan pemahaman bahwa dia meninggalkannya karena mengingkari kewajibannya?”
Kami katakan, “Tidak boleh, karena pada hal tersebut terdapat dua larangan;
Larangan Pertama: Menggugurkan status yang telah ditetapkan syariat dan dengan itu sebuah hukum ditetapkan. Karena syariat telah mengaitkan ketetapan hukum kufur dengan meninggalkan shalat tanpa menentangnya dan menjadikan syarat ukhuwah/persaudaraan dalam agama dengan menegakkan shalat tanpa menyebutkan keharusan mengakui kewajibannya. Allah tidak mengatakan, “Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat.” Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Batas antara seseorang dengan syirik dan kekufuran adalah menentang wajibnya shalat.” Atau “Janji antara kita dengan mereka adalah mengakui kewajiban shalat. Siapa yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah kafir.”
Seandainya ini yang dimaksud Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, niscaya penjelasannya akan dirubah dari penjelasan yang sekarang terdapat dalam Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (سورة النحل: 89)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” SQ. An-Nahl: 89
Allah juga berfirman kepada Nabi-Nya,
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (سورة النحل: 44)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan,” SQ. An-Nahl: 44
Larangan kedua: Menetapkan sifat yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai alasan hukum. Karena penolakan terhadap kewajiban shalat lima waktu menuntutnya untuk mengkufuri orang yang tidak mendapatkan uzur karena kebodohan di dalamnya, baik dia shalat atau meninggalkannya. Seandainya seseorang shalat lima waktu dan menunaikan semua syarat-syarat dan rukun-rukunya, kewajiban dan sunahnya, akan tetapi dia menentangnya tanpa uzur, maka dia kafir padahal dia tidak meninggalkannya. Maka dengan demikian menjadi jelas, bahwa memahami nash-nash tersebut kepada orang yang meninggalkan shalat karena penentangannya terhadap kewajibannya, adalah tidak benar. Yang benar adalah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir yang mengeluarkannya dari agama. Sebagaimana jelas-jelas telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam sunannya dari Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berwasiat kepada kami;
لا تشركوا بالله شيئا ولا تتركوا الصلاة عمدا فمن تركها عمدا متعمدا فقد خرج من الملة
“Jangan kalian menyekutukan Allah sedikitpun, jangan tinggalkan shalat dengan sengaja. Siapa yang meninggalkannya dengan sengaja, sungguh dia telah keluar dari agama.”
Demikian pula, jika kita pahami nash-nash tersebut dengan makna menentang kewajibannya, maka tidak ada gunanya pengkhususan shalat dalam nash-nash tersebut. Karena hukumnya akan berlaku umum terhadap zakat, puasa, haji. Siapa yang meninggalkan karena penentangan maka itu adalah kufur, jika dia bukan orang yang memiliki uzur karena kebodohannya.
Di samping, kufurnya orang yang meinggalkan shalat merupakan konsekwensi dalil yang bersifat tekstual dan menjadi konsekwensi dalil logika yang bersifat teoritis. Bagaimana ada pada seseorang keimanan, sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan tiang agama. Sedangkan pada anjuran melaksanakannya akan menuntut seorang mukmin berakal untuk melakukannya dan menyegerakannya, sementara ancaman karena meninggalkannya menuntut seorang mukmin berakal untuk takut meninggalkannya dan menyia-nyiakannya? Meninggalkan shalat dengan adanya semua faktor-faktor teresbut tidak menyisakan keimanan jika dia tinggalkan.
Jika ada orang yang berkata, “Tidakkah bisa dipahami bahwa kufur yang dimaksud bagi orang yang meninggalkan shalat adalah ‘kufur nikmat’ bukan kufur dalam agama dan bahwa yang dimaksud kufur di sini adalah kufur yang bukan kufur besar (kufur ashgar/kecil), seperti sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,
اثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ (رواه مسلم)
“Ada dua perkara pada seseorang, yang pada keduanya terdapat kekufuran; Mengingkari nasab dan niyahah (meraung-raung) atas mayat.”
Juga sabdanya,
سِبَابُ الُمسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencaci muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.”
Dan hadits-hadits yang semacamnya.
Kami katakan bahwa pemahaman demikian tidak sah, berdasarkan beberapa alasan;
Pertama: Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjadikan shalat sebagai batas yang jelas antara kafir dan iman, antara kaum mukminin dan kafir, dia membedakan antara yang dibatasi dan mengeluarkannya dari selainnya. Kedua hal yang dibatasi itu adalah berbeda, satu sama lain tidak dapat saling mengisi.
Kedua: Shalat merupakan rukun Islam. Penetapan status kafir bagi orang yang meninggalkannya menunjukkan bahwa dia adalah kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam, karena dia telah meruntuhkan salah satu rukun Islam, berbeda dengan status kufur terhadap orang yang melakukan salah satu perbuatan yang perbuatan kufur lainnya.
Ketiga: Terdapat nash-nash lainnya yang menunjukkan kufurnya orang yang meninggalkan shalat dengan kekufuran yang mengeluarkannya dari agama. Maka kekufuran disini hendaknya dipahami demikian, agar nash-nash tersebut sesuai dan cocok.
Keempat: Redaksi ‘kufur’ berbeda. Dalam bab meninggalkan shalat redaksinya adalah,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِِ
“Antara seseorang dan kesyirikan dan kekufuran.”
Dalam redaksi ini kufur disebutkan dengan menggunakan “ال” (الكفر), sehingga menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur adalah hakikat kekufuran. Berbeda jika redaksinya adalah: كُفْر atau منكرا atau kalimat كَفَر dengan menggunakan kata kerja. Maka yang dimaksud adalah bahwa dia bagian dari kekufuran, atau bahwa dia kufur pada perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut bukanlah kufur mutlak yang mengeluarkannya dari agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dalam kitabnya “Iqtidha Shirathal Mustaqim” hal. 70 berkata, cetakan As-Sunah Al-Muhamadiyah tentang sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam; “Dua perbuatan yang pada keduanya terdapat kufur.” Dia berkata, ‘Yang dimaksud bahwa pada keduanya adalah kufur, maksudnya adalah kedua sifat tersebut merupakan kufur yang terdapat pada seseorang. Kedua sifat itu merupakan kekufuran, karena dia termasuk perbuatan kufur. Keduanya ada pada seseorang, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan salah satu cabang kekufuran, menjadi kufur mutlak sampai terbukti dia melakukan yang sesuatu yang menyebabkannya kufur hakiki. Sebagaimana seseorang melakukan salah satu cabang iman, dia menjadi mukmin hingga dia melakukan pokok dan hakikat keimanan. Berbeda antara kufur yang mendapatkan tambahan “ال” sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,”Tidak ada batas antara seorang hamba dengan kekufuran dan kesyirikan selain meninggalkan shalat” dengan orang yang kufur yang mengingkari ketetapan.”
Jika telah jelas, bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur adalah kafir dengan kekufuran yang menyebabkannya keluar dari agama berdasarkan dalil-dalil ini, maka pendapat yang benar adalah pendapat Imam Ahmad dan ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafii, sebagaiman disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir terhadap firman Allah Ta’ala, ”
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ (سورة مريم: 59)
““Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya.” SQ. Maryam: 59.
Sedangkan Ibnu Qayim menyebutkan dalam Kitab Ash-Shalat, bahwa ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafii dan bahwa Ath-Thahawi menukilnya dari Imam Syafii langsung.
Pendapat inilah yang dipakai oleh mayoritas shahabat, bahkan ada lebih satu orang mereka yang mengatakan telah terjadi ijmak dalam masalah ini. Abdullah bin Syaqiq berkata, bahwa dahulu para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam menganggap bahwa tidak sesuatupun yang apabila ditinggalkan menyebabkan kekufuran selain shalat. (HR. Tirmizi dan Hakim, dia menshahihkan berdasarkan syarat keduanya).
Ishaq bin Rahawaih, tokoh ulama terkenal, berkata bahwa terdapat riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Demikian pula halnya dengan pendapat para ulama dari sejak masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, hingga masa sekarang ini, bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur, hingga keluar waktu dengan sengaja, maka dia kafir.
Ibnu Hazam menyebutkan bahwa pendapat ini diriwayatkan dari Umar dan Abdurrahman bin Auf dan Muaz bin Jabal serta Abu Hurairah dan selainnya dari kalangan para shahabat, dia berkata bahwa tidak kami ketahui dari para shahabat yang menentangnya.
Hal ini juga dikutip oleh Al-Munziri dalam Kitab At-Targhib wa At-Tarhib, dan dia menambahkan para shahabat (yang berpendapat demikian), yaitu; Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, Abu Darda radhiallahu anhum.
Lalu dia berkata, ‘Sedangkan dari kalangan selain shahabat; Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Abdullah bin Mubarak, An-Nakhai, Hakam bin Utaibah, Ayyub As-Sikhtiani, Abu Daud Ath-Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb dan selainnya.
Wallahua’lam. []
Referensi: Risalah Fi Hukmi Tarikisshalah (Risalah Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat), Syekh Muhamad bin Shaleh Al-Utsaimin