Oleh: Mahmud Budi Setiawan
Penulis Bina Qolam
ALLAH Maha indah dan menyukai keindahan. Di antara anugerah yang diberikan oleh-Nya kepada manusia ialah keindahan suara. Dalam memanfaatkan keindahan yang dianugerahkan Allah ini, sikap dan perilaku orang bermacam-macam. Kebanyakan yang memiliki suara indah, menumpahkan segenap potensinya dalam dunia musik. Apalagi di zaman ini peluang untuk ke situ begitu besar karena difasilitasi. Ada yang namanya Indonesian Idol dan lain sebagainya.
Masalahnya kemudian ialah mensyukuri keindahan suara apa sekadar mengoptimalisasikannya hanya dalam dunia musik atau tarik suara? Bukankah itu sangat wadag sekali? Bukankah segenap anugerah yang diberikan Allah itu harus disyukuri. Sedang rasa syukur hakiki ialah yang mampu membuat manusia sadar bahwa semua itu dari Allah dan ia hanya dipinjami. Sehingga dengan kesadaran demikian dia tidak memiliki peluang untuk menyombingkan diri.
Islam sangat mengapresiasi dunia seni, namun kesenian yang hanya berkutat pada seni belaka, yang tidak mengantarkan kesadaran bahwa Allahlah Maha Indah dan menyukai keindahan maka kesenian itu sangat materialistik sifatnya.
Bila kesenian diwujudkan dengan kesadaran cinta keindahan karena Allah maka kesenian itu bernilai ibadah. Demikian kesenian di bidang keindahan suara. Siapa saja yang diberi anugerah keindahan suara, kemudian ia salurkan potensinya hanya untuk mencari popularitas dan kemasyhuran maka anugerah itu menjadi anugerah yang ganjil. Ganjil karena dia tak mampu menyadari bahwa sebenarnya keindahan itu berasal dari Allah, kalau ia malah lupa pada Allah lantaran nikmat suara indah itu, berarti ia tidak mampu menjadi orang yang genap dalam artian lulus dalam menjalani ujian kenikmatan.
Pernahkah anda mendengar sahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam yang keindahan suaranya diibaratkan seperti seruling Nabi Daud? Sahabat itu bernama Abdullah bin Qais yang diberi kunya Abu Musa Al-`Asy`ari.
Suatu malam ketika Nabi berjalan Beliau mendengar dari satu rumah suarah yang sedemikian indah melantunkan ayat suci Al-Qur`an, keesokan harinya belia menyatakan pada Abu Musa Al-Asy`ari: “Sungguh engkau telah dianugerahi seruling (Nabi) Daud”.
Abu Musa ketika mendengar pernyataan Rasul menimpalinya dengan kata: Seandainya aku tahu bahwa tadi malam engkau mendengarkanku melantunkan ayat suci Al-Qur`an maka akan lebih aku perindah.
Kata “seruling” dalam hadits tersebut memiliki makna keindahan suara. Dalam tradisi bahasa Arab, orang yang memiliki suara indah diibaratkan seperti seruling. Nabi Daud dikenal dengan kemerduan suaranya. Jadi maksud hadits itu ialah bahwa Abu Musa diberi karunia keindahan suara layaknya Nabi Daud `alaihis salami. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah? Apakah Abu Musa berhenti pada sekadar keindahan suara? Apakah seluruh hidupnya difokuskan dalam dunia itu?
Apakah keindahan suara membuatnya angkuh dan sombong? Apakah keindahan suara membuatnya terlena dan lupa Allah? Apakah keindahan suaranya dia gunakan hanya untuk mencari popularitas?
Kalau kita baca sejarah emas sahabat Nabi kita akan menemukan kenyataan yang sama sekali menyimpang dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ya memang Abu Musa memiliki keindahan suara, tapi ia tidak berhenti sampai di situ. Ia bukan sekadar menghiasi Al-Qur`an dengan suaranya yang merdu tapi ia juga menganjurkan untuk mengikuti isi Al-Qur`an. Karena apa gunanya keindahan bacaan Al-Qur`an jika yang membaca tidak mengikuti keindahan isinya.
Bahkan yang menjadi lebih menarik ialah fokus hidupnya bukan pada keindahan suara. Ia tidak larut dan terlena pada kelebihan yang dianugerahkan Allah berupa suara merdu, justru ia fokus berjihad, berjuang di jalan Allah yang penuh onak dan duri. Ia tidak sombong dan tidak mencari popularitas melalui itu.
Ia memiliki hati yang lembut sekaligus merupakan sayyidu al-fawaarits (Penghulu Kavaleri [pasukan berkuda]). Ia bukan saja memiliki suara merdu tapi dia adalah pejuang yang pemberani, terdepan di medan jihad, dan dia juga seorang Gubernur dan Qadli baik di masa Umar maupun Utsman.Ia lulus menjalani “ujian kenikmatan”. Mungkin banyak yang bisa lolos dari “ujian kesulitan” karena sangat terasa. Tapi sangat jarang sekali yang mampu lulus dan lolos dari “ujian kenikmatan”.
Ia mampu mentransformasikan keindahan suara menjadi amalan-amalan nyata untuk mencari ridha Allah. Keindahan anugerah harus disyukuri dengan keindahan laku. Bila keindahan yang dikaruniakan Allah tak mampu menembus cermin hati sehingga memantulkan keindahan amal maka kualitas cermin hatinya sangatlah buruk.
Bagi siapa saja yang merasa muslim dan diberi anugerah keindahan suara, mesti banyak-banyak belajar kepada Abu Musa Al-`Asyari. Suara yang begitu merdunya diiringi dengan amalan yang indah; suara yang begitu indah dibarengi dengan keindahan laku. Ia tak mau larut dan terlena dengan hanya sekedar anugerah keindahan, dia segera mensyukurinya dengan amalan-amalan nyata. Ia pemilik suara merdu sekaligus pejuang sejati; ia pemilik suara indah sekaligus petarung sejati di medan jihad.
Ia mampu lulus dan lolos dari penilaian wadag materil. Ia tidak terbelenggu dan ditimpa penyakit ghurur(terlena) terhadap anugerah kemerduan suara. Ia mampu memanfaatkan kemerduan suara untuk kepentingan ibadah dan dakwah.
Banyak sekali hati-hati manusia terbuka setelah mendengar suaranya. Terbuka untuk mengikuti petunjuk Allah semata. Pada zama Khalifah Umar bin Khathab, setiap kali beliau bertemu Abu Musa Al-`Asy`ari beliau mengatakan: Wahai Abu Musa, Buatlah kami rindu pada Al-Quran (dengan kemerduan suaramu). Pantaslah jika Rasul mengatakan bahwa dia diberi anugerah layaknya seruling Daud.
Nabi Daud pemilik suara indah sekaligus menjadi raja; pemilik suara merdu sekaligus pejuang dan pendakwah dijalan Allah; pemilik suara indah dan merdu sekaligus pensyukur sejati. Tak ada jarak antara anugerah dan laku. []