LANGIT yang cerah pada siang itu tak selaras dengan apa hendak yang dikatakan perempuan di depanku ini. Berbasa basi setelah sekian lama tak berjumpa, aku menanyakan kabarnya.
“Alhamdulillah, Allah beri aku cobaan,”
“Cobaan apa, Mbak?” sergahku tak sabar
“Beberapa hari lalu dokter memvonisku terkena kanker rahim,” ia berkata lirih, dua bulir air mata jatuh perlahan.
Aku mengusap punggung tangannya, lidahku tercekat demi mendengar apa yang baru saja disampaikannya. Udara seperti tertahan di dekat kami, memberikan ruang. Lalu setelah beberapa saat ia pun bercerita tentang tanda-tanda yang dirasakan sebelumnya hingga ia akhirnya ia mengetahui bahwa ia menderita kanker rahim stadium dua. Kali ini, sama sekali tak ada air mata mengalir, yang kudengar adalah kata demi kata yang ia sampaikan dengan penuh ketegaran.
“Alhamdulillah, Allah beri aku penyakit ini, Dek…”
“Alhamdulillah, mungkin ini cara Allah menegurku agar semakin mendekat padaNya, aku nggak boleh capek-capek sehingga aku akhirnya keluar kerja, alhamdulillah dengan penyakit ini suamiku juga makin sayang padaku…”
Dan tak ku dengar perkataan lain darinya selain ungkapan pujian kepada Allah.
“Dek Monika, Mbak aja yang dikasih sakit begini saja bersyukur. Kamu harusnya bisa lebih bersyukur dari Mbak ya. Kamu kuliah gratis, lulus langsung dapat kerja, ditempatkan di Jakarta sementara saudara Mbak pengen dapet Jakarta malah dapet di luar Jawa, kamu dapet kesempatan lanjut kuliah lagi nggak usah disambi kerja, kamu udah punya usaha sendiri…”
“Dua doa yang tak lepas kupanjatkan pada Allah, Dek. Semoga Allah memberikan aku kekuatan untuk senantiasa memperbaiki diri dan semoga aku senantiasa menjadi hambaNya yang bisa bersyukur dalam setiap keadaan…”
Perkataannya membuatku tergugu. Aku menundukkan kepala di pangkuannya. Terkubur dalam-dalam sudah curhatanku yang tadinya hendak kusampaikan padanya jika ia menanyakan kabarku.
Teruntuk seorang perempuan hebat yang amat ku sayangi dan ku hormati. Semoga Allah senantiasa memberimu kekuatan untuk melewati semua ini… []