Puisi-puisi Karya Supadilah Iskandar
(Pengamat dan penikmat sastra milenial, menulis puisi dan prosa di berbagai media nasional luring dan daring) supadilahiskandar@gmail.com
Berpegang pada Kata
Leluhurku memberi pesan agar aku tetap bersabar
meski tak mudah kata “sabar” itu dalam mengamalkannya.
Pun ketika sumur itu melahap tubuhku
dan aku nyaris tenggelam di dalamnya,
tak berapa lama aku menemukan seutas tali
yang dapat kumanfaatkan untuk keluar dari lubang sumur itu.
Orang-orang tak mengenali aku setelah terpisah dari keluargaku,
terombang-ambing nasib dalam pusaran pasar budak
sebagaimana Abdulrazak Gurnah menggambarkan
dalam Paradise hasil gubahannya.
BACA JUGA: 7 Puisi Supadilah Iskandar tentang “Sufi dan Penyair Tua”
Aku pun terseret ke jurang peradaban baru,
menjadi pelayan di istana kerajaan Mesir.
Kau menamakan itu tragedi, tapi aku berusaha bersabar
dan menganggapnya sebagai bagian dari proses hidup.
Kau bahkan tersenyum menyeringai kembali
ketika aku difitnah melakukan pelecehan seksual terhadap istri raja,
hingga harus mendekam dalam penjara selama bertahun-tahun.
Tapi aku tak mau menyebutnya sebagai “mendekam”
karena aku masih leluasa mengekspresikan potensi
dan keahlianku di dalam jeruji besi.
Kau menyebutnya sebagai kehidupan yang “tragis”,
tetapi aku tetap bersabar
dan menganggapnya sebagai bagian dari proses hidup.
Bertahun-tahun aku tak mengetahui suasana di luar penjara,
hingga musim berganti musim, hujan berganti kemarau,
dan pemerintahan Mesir telah rapuh dan menua
serta membutuhkan ide-ide kreatif dari generasi baru
yang dapat mengendalikan tampuk kekuasaan.
Sejak saat itulah, aku yang semula menjadi pemimpin di penjara,
kini dipercayakan sebagai pengelola ekonomi bagi kemakmuran rakyat,
hingga pada gilirannya diangkat menjadi pemegang tongkat estafet.
Lalu, masihkah kau mengatakan ini sesuatu yang absurd?
Sampai kemudian aku merancang rekayasa dan agenda terselubung
untuk berjumpa dan bersatu kembali dengan seluruh keluargaku,
yang kemudian masing-masing kami posisikan di istana kerajaan Mesir.
Adakah semua ini serba kebetulan belaka?
Bukankah kita diperintahkan untuk berpegang pada kata “sabar”
hingga sampai pada keyakinan:
“Tak ada sehelai daun pun yang jatuh di kegelapan malam,
baik yang basah maupun yang kering
kecuali Yang Maha Pengasih dan Pemilik jagat raya ini
tak pernah lengah sedetik pun untuk merawat dan mengelolanya.”
Masihkan kau ragu dan bimbang dengan kekuatan kata? ***
Mengutuk Kegelapan
Rayap-rayap itu merembet dari dinding tetangga kananku,
dan aku pun merenungkan ciptaan Tuhan itu,
apakah benar tak memiliki arti sama sekali bagi hidup kita?
Tetanggaku sibuk pontang-panting mengobrak-abrik rayap
bahkan memakinya lantaran buku-buku puisinya bolong-bolong
termakan oleh rayap-rayap itu.
Namun, tetangga kiriku yang mengetahui kericuhan dan kegaduhan kami,
justru menyarankan biarlah rayap-rayap itu bersarang selama beberapa waktu, karena aku akan memanfaatkannya sebagai obat penurun tekanan darah,
mengendalikan kolesterol, serta mengontrol kadar gula dalam darah.
Bahkan sarang-sarangnya sangat bermanfaat
sebagai nutrisi yang baik bagi kesuburan tanaman di pekarangan.
Tapi bukankah rayap-rayap itu telah memusnahkan karya-karya puisi
dari penyair yang tinggal di sebelah kanan rumahku?
Dan jawabnya lagi, bukankah semua karyanya telah tersimpan
ke dalam flashdisc yang hanya sebesar kelingking jari kita?
“Bersyukurlah, karena rayap-rayap itu mengerogoti karya-karyanya
di era milenial ini, setelah teknologi mampu menghimpun
segudang karya-karya sastra dalam satu benda sekecil jari manis kita.”
Kini aku pun semakin memahami, tak ada yang sia-sia
pada setiap makhluk ciptaan Tuhan.
Bahkan dari ribuan ekor rayap itu aku masih bisa
berbagi dengan tetangga kiriku,
suatu amal kebaikan yang akan dilipatgandakan pahalanya,
baik di dunia maupun di akhirat nanti. ***
Sesuatu Bernama Syukur
Ketika aku menjenguk Fulan sahabatku di rumah sakit,
justru ia mengingatkan aku tentang pentingnya “rasa syukur”
karena hakikat nikmat dan musibah bukanlah sesuatu yang mutlak.
Bukankah kau sedang sakit (kataku kemudian),
namun ia tetap tenang sambil berujar
bahwa Tuhan bisa memberi sesuatu yang lebih
dari sekadar rasa sakit, jika Dia menghendaki.
Aku mengingat Fulan dulu, sewaktu di kampus perguruan tinggi,
beberapa teman melemparkan abu di kepalanya,
namun ia berusaha tenang bahwa yang terlempar bukanlah bara api,
dan masih tetap ia bersyukur.
Suatu hari, dua orang pembegal merampas ransel
dan membawa lari sepeda motornya.
Tak berapa lama, ia muncul kembali di dalam kelas,
seakan tak menampakkan rasa sedih maupun penyesalannya.
Ia terus menjalani hari-hari barunya di kampus dengan bersepeda,
dan menganggap segala yang telah dialami pasti memiliki makna.
Kenapa kau bersyukur atas nasib getir yang kau alami (kataku).
Ia menjawab, karena telah menyelesaikan satu beban
yang pasti merupakan giliran aku dalam hidup ini.
Bukankah musibah dan kesengsaran merupakan jalan lapang
menuju kebahagiaan akhirat (tegasnya lagi).
Penderitaan dunawi laiknya obat atau suntikan
untuk mengobati luka hati, maupun jiwa-jiwa yang sakit.
Setidaknya, ia akan mengurangi keterikatan
dan kecintaan yang berlebihan pada aksesoris dunia
yang bersifat semu dan fana ini.
Kemudian saat ini, ketika aku duduk di samping Fulan sahabatku
BACA JUGA: Terlena, Puisi oleh: Buya Hamka
dalam kendaraan Lexus miliknya, justru ia berujar tenang:
“Seorang hamba belum sampai pada hakikat iman yang sejati
sebelum ia menganggap musibah sebagai nikmat,
serta kemegahan harta sebagai musibah.”
Sejak saat itulah aku mulai menggoreskan pena
dan menulis puisi terbaruku:
“Malu aku menjadi penyair Indonesia,
yang hanya sibuk berkeluh-kesah ketika ditimpa musibah.
Sementara kelapangan dan kesenangan yang aku raih,
kadang menggelincirkan aku dalam keangkuhan dan kesombongan.
Kini, aku tak sanggup lagi
menanggung beban sebagai seniman pendendam!” []