TIDAK keliru gelar “Sahnun”, sejenis burung di Maroko, dilekatkan pada Abdus Salam bin Sa’id bin Hubaib at-Tanukhi. Sang empu nama memiliki ketajaman pikiran dan kecerdasan. Keturunan Arab Syam ini pembawa panji dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah di jazirah maghribi. Imam Sahnun juga pemuka hadits dari kalangan mazhab Maliki di kawasan Afrika.
Demikian sebagian kekaguman Dr Ali Muhammad ash-Shallabi yang tidak bisa disembunyikan ketika mengulas Imam Sahnun. Padahal, buku yang menera nama sang imam adalah tentang sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah.
Dari karya Dr. ash-Shallabi (2016) tersebut kita mendapati banyak mutiara pada sosok Imam Sahnun. Ahli hadits ini berkali-kali ditawari untuk menjabat di lembaga peradilan. Selalu ditolaknya tawaran itu. Afrika kala itu di bawah kendali kekuasaan Daulah Aghlabiyah. Sosok yang berkali-kali membujuk Imam Sahnun tersebut tak lain sang penguasa, Muhammad bin al-Aghlab. Perlu setahun penuh yang disertai rengekan, sang penguasa ingin meyakinkan Imam Sahnun. Sang imam senantiasa bergeming, seolah tak mau meladeni tawaran itu.
Hingga akhirnya Imam Sahnun mensyaratkan adanya jaminan sekira dia memproses hukum kalangan keluarga sang penguasa. Dan yang terjadi kemudian, Imam Sahnun dikenal sebagai sosok tanpa kompromi juga tak bisa dibeli. Bila ada yang merasa dirugikan oleh putusan Imam Sahnun, dan kemudian mengadu pada penguasa, maka hasilnya adalah diabaikannya titah sang penguasa. Tidak ada perubahan hukum yang divoniskan kendati pihak yang merasa dirugikan itu orang dekat atau kerabat penguasa Aghlabiyah. Diancam sekalipun, Imam Sahnun tak ambil pusing. Sampai-sampai penguasa frustrasi, “Kami tidak mengetahui apakah dia (Imam Sahnun) memusuhi kita ataukah kita memusuhinya?” ujar sang penguasa.
Menariknya, Imam Sahnun sama sekali tidak mengambil jatah gaji sebagai pemangku lembaga peradilan! Dia bercukup dengan usaha mengolah tanah dan ribuan zaitun yang dimilikinya. Ihwal ringan tangannya sang imam, banyak dikenal luas manusia pada zaman itu. Sebanyak 12 ribu pohon zaitun, separuhnya disedekahkan bagi kalangan fakir miskin. Sisanya pun tidak selalu diambilnya bagi kepentingan dirinya semata.
Kehadiran sosok Imam Sahnun, yang menyusun kitab al-Mudawwanah dan Kitab az-Zuhud, bak cerita di siang bolong. Seolah hadirnya manusia yang lebih mementingkan orang lain di atas kebenaran dan keadilan hanya ada dalam cerita fiksi. Padahal, Sahnun bin Sa’id bin Hubaib at-Tanukhi (160-240 Hijriah) sosok nyata yang namanya masih harum hingga kini. Ia mewariskan pada kaum Muslimin, khususnya di Afrika dan bekas kawasan Andalusia, tentang etos keilmuan, keberanian menegakkan hukum, dan kezuhudan. Suatu performa apik yang tak dibuat-buat selain demi mengharapkan ridha Ilahi. []