BERBAKTI kepada kedua orangtua merupakan kewajiban bagi setiap anak. Bahkan sekalipun orangtuanya menyekutukan Allah, seorang anak masih mempunyai kewajiban untuk berakhlak baik pada kedua orangtuanya. Berikut ini salah satu contoh kisah para sahabat yang mempunyai orangtua kafir namun tetap berbuat baik kepadanya.
Dari Asma binti Abu Bakar ia berkata, “Ibuku mendatangiku, sedangkan ia seorang wanita musyrik di zaman Rasulullah . Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah dengan mengatakan, “Ibuku mendatangiku dan dia menginginkan aku (berbuat baik kepadanya), apakah aku (boleh) menyambung (persaudaraan dengan) ibuku?” beliau bersabda, “Ya, sambunglah ibumu,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
BACA JUGA: Jasa Orangtua kepada Anak Sering Dilupakan
Imam Syafi’i rah berkata, “Menyambung persaudaraan itu bisa dengan harta, berbakti, berbuat adil, berkata lemah lembut, dan saling kirim surat berdasarkan hukum Allah. Tetapi tidak boleh dengan memberikan walayah (kecintaan dan pembelaan) kepada orang-orang yang terlarang untuk memberikan walayah kepada mereka (orang-orang kafir).”
Ibnu Hajar rah berkata, “Kemudian bahwa berbakti, menyambung persaudaraan dan berbuat baik itu tidak mesti dengan mencintai dan menyayangi (terhadap orang kafir walaupun orang tuanya) yang hal itu dilarang di dalam firman Allah, “Kamu tidak akan menjumpai satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,” (QS. Al Mujadilah: 22).
“Karena sesungguhnya ayat ini umum untuk (orang-orang kafir) yang memerangi ataupun yang tidak memerangi,” (Fathul Bari V/ 233).
BACA JUGA: Apakah Orangtua Tanggung Dosa Anak Kecil?
Dalam kitabul ‘Isyrah, Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Sa’ad bin Malik , dia berkata, “Dahulu aku seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Setelah masuk Islam, ibuku berkata, “Hai Sa’ad! Apa yang kulihat padamu telah mengubahmu, kamu harus meninggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati, lalu kamu dipermalukan karenanya dan dikatakan: Hai pembunuh ibu!”
Aku menjawab, “Hai Ibu! Jangan lakukan itu.” Sungguh dia tidak makan, sehingga dia menjadi letih. Tindakannya berlanjut hingga tiga hari, sehingga tubuhnya menjadi letih sekali. Setelah aku melihatnya demikian aku berkata, “Hai Ibuku! Ketahuilah, demi Allah, jika kamu punya seratus nyawa, lalu kamu menghembuskannya satu demi satu maka aku tidak akan meninggalkan agamaku ini karena apapun. Engkau dapat makan maupun tidak sesuai dengan kehendakmu,” (Tafsir Ibnu Katsir III/791). []
Referensi: Maktabah Ummu Salma al-Atsariyah/Birulwalidain