SHAF shalat telah jelas diatur dalam Islam, yakni terpisah antara shaf laki-laki dengan shaf perempuan. Namun, baru-baru ini shaf campur antara lelaki dan perempuan dalam sebuah kegiatan akbar yang melibatkan ribuan massa menjadi sorotan.
Pertanyaan mengenai hukum dan sah tidaknya shalat dalam kondisi semacam itu pun menyeruak. Bagaimana penjelasannya?
BACA JUGA: Ini Kata MUI soal Shaf Shalat yang Campur di GBK
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf (barisan di dalam shalat) bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling buruk adalah yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang terakhir dan yang paling buruk adalah yang paling depan.” (HR. Muslim 132, Tirmidzi, no. 224, dan Ibnu Majah, no. 1000)
Hadis ini merupakan aturan ideal untuk posisi shaf lelaki dan wanita, bahwa yang lebih sesuai sunah, shaf wanita berada di belakang lelaki. Semakin jauh dari lelaki, semakin baik.
Jika shaf wanita sejajar dengan lelaki, bagaimana keabsahan shalatnya?
Syaikhul Islam memberikan keterangannya sebagai berikut:
وقوف المرأة خلف صف الرجال سنة مأمور بها، ولو وقفت في صف الرجال لكان ذلك مكروهاً، وهل تبطل صلاة من يحاذيها؟ فيه قولان للعلماء في مذهب أحمد وغيره:
”Posisi shaf wanita di belakang laki-laki adalah aturan yang diperintahkan. Sehingga ketika wanita ini berdiri di shaf lelaki (sesejar dengan lelaki) maka statusnya dibenci. Apakah shalat lelaki yang berada di sampingnya itu menjadi batal? Ada dua pendapat dalam madzhab hambali dan madzhab yang lainnya.”
Selanjutnya Syaikhul Islam menyebutkan soal perbedaan pandangan mazhab terkait hal ini.
أحدهما: تبطل، كقول أبي حنيفة وهو اختيار أبي بكر وأبي حفص من أصحاب أحمد. والثاني: لا تبطل، كقول مالك والشافعي، وهو قول ابن حامد والقاضي وغيرهما
Pendapat pertama, shalat lelaki yang disampingnya batal. Ini pendapat Abu Hanifah , dan pendapat yang dipilih oleh Abu Bakr dan Abu Hafsh di kalangan ulama hambali.
Pendapat kedua, shalatnya tidak batal. Ini pendapat Malik, as-Syafii, pendapat yang dipilih Abu Hamid, al-Qadhi dan yang lainnya. (al-Fatawa al-Kubro, 2/325).
Diantara ulama yang menilai bahwa ini batal, karena posisi semacam ini bisa memancing syahwat lelaki adalah As-Sarkhasi – ulama hanafi – (w. 483 H). Dia mengatakan:
بأن حال الصلاة حال المناجاة، فلا ينبغي أن يخطر بباله شيء من معاني الشهوة، ومحاذاة المرأة إياه لا تنفك عن ذلك عادة، فصار الأمر بتأخيرها من فرائض صلاته، فإذا ترك تفسد صلاته
“Ketika shalat, manusia sedang bermunajat dengan Allah, karena itu tidak selayaknya terlintas dalam batinnya pemicu syahwat. Sementara sejajar dengan wanita, umumnya tidak bisa lepas dari syahwat. Sehingga perintah untuk memposisikan wanita di belakang, termasuk kewajiban shalat. Dan jika ditinggalkan maka shalatnya batal.” (al-Mabsuth, 2/30)
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
كون النساء يقمن صفاً أمام الرجال فإن هذا بلا شك خلاف السنة، لأن السنة أن يكون النساء متأخرات عن الرجال، لكن الضرورة أحياناً تحكم على الإنسان بما لا يريد، فإذا كان أمام المصلي صف من النساء، أو طائفة من النساء فإن الصلاة خلفهن إذا أمن الإنسان على نفسه الفتنة جائزة، ولهذا من عبارات الفقهاء قولهم: “صف تام من النساء لا يمنع اقتداء من خلفهن من الرجال”
“Posisi wanita yang berada di depan lelaki, semacam ini kita yakini bertentangan dengan sunah. Karena yang sesuai sunah, wanita di belakang lelaki. Namun kondisi darurat memaksa seseornag untuk melakukan di luar keinginannya. Karena itu, jika di depan lelaki ada shaf wanita, atau beberapa wanita, maka status shalat orang yang berada di belakang mereka hukumnya boleh, jika aman dari munculnya fitnah dalam dirinya. Diantara ungkapan ulama fiqh dalam masalah ini,
صف تام من النساء لا يمنع اقتداء من خلفهن من الرجال
Shaf wanita di depan lelaki, tidaklah menghalangi lelaki di belakangnya untuk menjadi makmum (dalam shalat jamaah).”
Mengingat alasan munculnya syahwat ini, beliau melarang seseorang lelaki untuk berdiri tepat di samping wanita.
وأما مصافة الرجال للنساء فهذه فتنة عظيمة، ولا يجوز للرجل أن يصف إلى جنب المرأة، فإذا وجد الإنسان امرأة ليس له مكان إلا بجانبها فينصرف ولا يقف جنبها، لأن هذا فيه فتنة عظيمة
“Untuk lelaki yang satu shaf dengan wanita, ini bisa menimbulkan fitnah besar. Dan tidak boleh seorang lelaki mengambil posisi di samping wanita. Jika seorang lelaki tidak mendapatkan tempat kecuali harus di samping wanita persis, hendaknya dia pindah dan tidak berdiri di sampingnya persis. Karena semacam ini menjadi sumber firnah besar.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, volume 15, Bab. Shalat Berjamaah)
Demikian juga dengan ulama Mazhab Hanafi.
فَإِنْ صَفَّ نِسَاءٌ خَلْفَ الْإِمَامِ وَخَلْفَهُنَّ صَفَّ رِجَالٌ بَطَلَتْ صَلَاةُ الصَّفِّ الَّذِي يَلِيهِنَّ
“Sejumlah perempuan yang berbaris di belakang imam, dan di belakang para perempuan itu terdapat barisan para lelaki, maka shalat barisan yang ada di belakang itu tidak sah.”
Dalam kitab Tabyinul Haqaiq karya Imam Fakhrud Din al-Zayla‘I menerangkan,
إنْ حَاذَتْهُ مُشْتَهَاةٌ فِي رُكْنٍ مِنْ صَلَاةٍ مُطْلَقَةٍ مُشْتَرَكَةٍ تَحْرِيمَةً وَأَدَاءً فِي مَكَان مُتَّحِدٍ بِلَا حَائِلٍ وَلَا فُرْجَةٍ أَفْسَدَتْ صَلَاتَهُ إنْ نَوَى إمَامَتَهَا وَكَانَتْ جِهَتُهُمَا مُتَّحِدَةً
“Jika seseorang lelaki bersejajar dengan wanita dalam salah satu rukun shalat secara mutlak yang bersamaan dalam takbiratul ihram dan niat adaan, dalam satu tempat tanpat ada penghalang dan ruang renggang itu bisa membatalkan shalat lelaki tersebut jika ia niat menjadi imam dan keduanya berbaris lurus.”
Sementara itu, Mazhab Syafii menganggap shalat tersebut sah.
Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah kitab al-Muhadzab menerangkan,
إذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَبِجَنْبِهِ امْرَأَةٌ لَمْ تَبْطُلْ طلاته وَلَا صَلَاتُهَا سَوَاءٌ كَانَ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا هذا مذهبنا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالْأَكْثَرُونَ
“Ketika seorang lelaki sedang shalat dan di sampingnya terdapat seorang perempuan, maka shalatnya itu tidak batal (sah), dan shalat perempuan itu juga tidak batal, baik lelaki tersebut menjadi imam atau makmum, dan inilah pendapat mazhab kami (Syafii). Ini juga pendapat Imam Malik dan kebanyakan ulama.”
BACA JUGA: Ini Hukum Shaf Shalat Wanita Sejajar dengan Laki-Laki
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
Posisi shaf lelaki yang berada di samping atau bahkan di belakang lelaki, tidaklah membatalkan shalat, menurut pendapat yang kuat.
Jika posisi shaf lelaki di dekat wanita bisa menimbulkan syahwat, maka dia dia harus menghindar dan mencari tempat yang lain. Karena bisa menjadi sumber fitnah.
Jika posisi lelaki di samping atau belakang wanita tidak sampai menimbulkan syahwat karena alasan darurat, hukumnya boleh dan tidak mempengaruhi keabsahan shalat.
Pada dasarnya umat Muslim di Indonesia cenderung menggunakan pendapat mazhab Syafii. Karena itu, saf campur antara lelaki dan perempuan dalam shalat jamaah kondisi darurat itu sah. Namun, hal itu bukan berarti tidak mengurangi pahala shalat berjamaah. Sebab, aturan yang sesuai dengan sunah Nabi itu tetap, yakni lelaki di barisan depan, kemudian perempuan berada di barisan belakang. []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH | BINCANG SYARIAH