Oleh: Raihana Mardhatillah, raihana.mardhatillah03@gmail.com
IA adalah Ummul Mukminin Shafiyah bintiHuyay bin Akhtab bin Sa’yah yang berasal dari keturunan Lawi bin Isra’il (Nabi Ya’qub) bin Ishaq bin Ibrahim as, dan masih merupakan keturunan Nabi Harun as (Al-Mishri, 2013, p. 316). Ia lahir pada tahun kedua dari kenabian Muhammad. Ibunya bernama Barrah binti Samwa’il, saudara perempuan Rifa’ah bin Samwa’il dari Bani Quraizhah (Sa’ad, 1997, p. 112).Ayahnya merupakan seorang pemimpin terkemuka Yahudi yang sangat benci terhadap Islam.
Walaupun terlahir dan dibesarkan oleh keturunan Yahudi, namun ia tetap memiliki sifat-sifat yang baik. Setelah beranjak dewasa, Shafiyah menikah dengan Salam bin Misykam salah seorang pemimpin Bani Quraizhah. Rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Ia menikah lagi dengan Kinanah bin Rabi’. Orang inilah yang pernah di usir oleh Rasulullah dari Madinah, kemudian menetap di Khaibar (Indra, 2005, p. 52).
Ketika terjadi perperangan Khaibar antara umat Islam dengan kelompok Yahudi, Allah Swt memberi kemenangan kepada kaum muslimin, sehingga seluruh benteng Khaibar dapat dikuasai. Shafiyah r.a termasuk dalam barisan wanita yang ditawan dan menjadi bagian seorang sahabat terkemuka, Dihyah Al-Kalbi. Sementara itu, suaminya (Kinanah) dibunuh karena melakukan pengkhianatan (Al-Mishri, 2013, p. 330).
Selanjutnya, tawanan-tawanan wanita dikumpulkan. Saat itu Dihyah datang kepada Rasulullah Saw seraya berkata ‘Wahai Rasulullah, berilah aku seorang tawanan wanita.’ Rasulullah Saw berkata, ‘Silahkan ambil seorang tawanan wanita yang engkau suka.’ Dihyah mengambil Shafiyah. Tiba-tiba seseorang menghadap Rasulullah Saw dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau memberikan Shafiyyah binti Huyay kepada Dihyah. Shafiyyah adalah putri pemimpin Quraizhah dan Nadhir, ia hanya pantas untukmu.’ Rasulullah Saw berkata, ‘Suruh Dihyah membawa Shafiyyah kemari.’ Dihyah pun datang sambil membawa Shafiyyah. Rasulullah Saw memperhatikan Shafiyyah, lalu berkata kepada Dihyah, ‘Ambillah tawanan wanita lain.’ Kemudian, Rasulullah Saw menawarkan untuk membebaskannya apabila ia memilih Allah dan Rasul-Nya. Dia menjawab, “Aku telah memilih Allah dan Rasul-Nya.” Dia memeluk Islam dan beliau memerdekakannya dan menjadikan kemerdekaanya sebagai bagian dari maharnya.
Beliau melihat ada bekas berwarna hijau di sekitar mata Shafiyyah, Beliau bertanya, ‘Shafiyyah, apa warna hijau itu?’ ia menjawab, “Rasulullah, dulu aku pernah menjadi istri Kinanah bin Rabi’, saat sedang tidur aku bermimpi melihat bulan datang dari Madinah dan jatuh kedalam kamarku. Aku menceritakan hal itu kepada suamiku. Dia berkata, ‘Engkau ingin menikahi raja yang datang dari Madinah?’ Dan dia menampar wajahku.” Lalu Shafiyyah menjalani masa iddah selama satu periode haid. Rasulullah Saw belum meninggalkan Khaibar sampai dia suci dari haidnya. Kemudian Rasulullah Saw meninggalkan Khaibar tanpa menikahinya.
Kemudian beliau pergi bersama Shafiyyah menaiki unta, ketika sampai di Sahba’ 12 mil dari Khaibar, Rasulullah Saw berkata kepada Ummu Sulaim, “Temani dan sisiri dia.” Rasulullah ingin menikahinya disitu (Sa’ad, 1997, p. 113). Lalu Ummu Sulaim mempersiapkan Shafiyyah, dan menyerahkannya kembali kepada Rasulullah dimalam hari, sehingga paginya Rasulullah Saw menjadi pengantin. Saat itu beliau berkata, ‘siapa yang mempunyai kelebihan makanan, hendaknya membawanya kepadaku.’ Beliau menghamparkan kulit kering, lalu datanglah sahabat membawa keju, ada pula yang membawa kurma, dan ada pula yang membawa minyak samin. Makanan itu dicampur dan dijadikan hais (makanan yang terbuat dari campuran kurma dan gandum serta bahan-bahan lainnya).Itulah walimah pernikahan Rasulullah Saw dengan Shafiyyah.” (Al-Mishri, 2013, p. 333).
Pernikahan Rasulullah Saw dengan Shafiyyah mengandung hikmah yang besar. Beliau menikahi Shafiyyah bukan lantaran nafsu. Rasulullah Saw menikahinya untuk memuliakan dan menjaganya, disamping itu, pernikahan ini juga sebagai ikatan antara Nabi Saw dengan Yahudi, dengan harapan bisa meredakan permusuhan mereka terhadap Islam serta mendorong mereka untuk bergabung dibawah naungan agama Islam.
Setelah melangsungkan pernikahan, Shafiyyah melanjutkan perjalanan ke Madinah bersama Rasulullah Saw. Berita gembira kedatangan Rasulullah Saw telah tersebar di Madinah, sehingga mereka beramai-ramai keluar rumah untuk menyambut kedatangan beliau. Begitu juga dengan istri-istri Rasulullah menyambut kedatangan beliau dengan riang gembira, walaupun Aisyah r.a tidak dapat menyembunyikan kecemburuannya saat mendengar kabar pernikahan Rasulullah Saw dengan Shafiyyah. Bagaimana tidak, Shafiyyah adalah seorang wanita muda yang sangat cantik dan kala itu masih berusia 17 tahun.
Ketika pasukan muslim tiba di Madinah, Rasulullah Saw tidak membawa Shafiyyah masuk kedalam salah satu rumah istrinya, dan beliau menginapkannya di rumah seorang sahabat terdekatnya, Haritsah bin Nu’man Al-Anshari ra (Al-Mishri, 2013, p. 335).Setelah beberapa saat, Shafiyyah menempati rumah sendiri yang dibuatkan oleh Nabi Saw, Shafiyyah menunjukkan sifat-sifat baiknya kepada istri-istri Nabi lainnya, karena bagaimana pun, Shafiyyah masih merasa sangat asing, karena istri-istri Nabi belum bisa melupakan latar belakang keluarganya yang berasal dari kaum Yahudi.
Anas bin Malik ra berkata, “Shafiyyah pernah mendengar berita bahwa Hafsah menyebutnya, ‘Dia itu anak seorang Yahudi.’ Shafiyyah menangis hingga Rasulullah Saw masuk ke rumahnya. Rasulullah Saw bertanya, ‘apa yang membuatmu menangis?’ Shafiyyah menjawab, ‘Hafsah mengejekku dengan mengatakan bahwa aku adalah anak Yahudi.’ Nabi Saw berkata sambil menghiburnya, ‘Sesungguhnya engkau adalah keturunan Nabi, pamanmu juga nabi dan sekarang suamimu juga nabi. Apa yang dibanggakan Hafsah atas dirimu?’ Kemudian Rasulullah Saw menemui Hafsah dan berkata, “Takutlah kepada Allah wahai Hafsah.”
Hal yang serupa juga diterima oleh Shafiyyah dari Zainab binti Jahsyi ra. Ketika itu Rasulullah Saw pergi menunaikan ibadah haji dengan seluruh istrinya, di tengah perjalanan unta yang dinaiki Shafiyyah jatuh dan tidak dapat melanjutkan perjalanan, para sahabat yang melihatnya memberi tahu kejadian itu kepada Rasulullah Saw, sehingga beliau datang dan memutuskan untuk beristirahat di tempat itu, ketika mau berangkat, Rasulullah Saw berkata kepada Zainab binti Jahsyi, “Berikanlah salah satu untamu kepada saudaramu ini” karena Zainab memiliki unta yang banyak, namun Zainab menolak dan berkata “Apakah aku memberi tunggangan kepada Yahudi itu”. Rasulullah Saw pun marah, sehingga beliau tidak mau berbicara denganZainab hingga kembali ke Madinah.
Begitulah sikap-sikap istri Rasulullah Saw terhadap Shafiyyah, walaupun demikian, Shafiyyah tetap berlaku baik dan selalu berbicara jujur serta terbuka. Ia mencintai Rasulullah Saw dengan sepenuh hati. Inilah yang membuat Shafiyyah menyandang keistimewaan-keistimewaan tertentu dalam beberapa hal. Disamping itu, Shafiyyah juga berusaha keras menjalankan segala bentuk ketaatan kepada Allah Swt untuk mengejar ketertinggalannya dari sekian banyak waktu hidupnya yang terbuang sia-sia. Kedekatannya dengan Nabi mendorongnya untuk banyak belajar ilmu dan amalan yang berguna untuk menguatkan pemahamannya terhadap agama.
Shafiyyah adalah sosok wanita yang pemberani, hal ini terlihat ketika Utsman bin Affan di kepung oleh orang-orang munafik. Shafiyyah membelanya dengan ucapan dan tindakannya. Kinanah berkata, ‘Aku membawa Shafiyyah untuk membela dan menolong Utsman.’ Tiba-tiba ia bertemu dengan Al-Asytar, Al-Asytar langsung memukul wajah keledai Shafiyyah hingga keledai itu tersungkur. Shafiyyah berkata, ‘Lepaskan aku, jangan sampai orang ini mempermalukan ku.’ Kemudian Shafiyyah memasang kayu dari rumahnya ke rumah Utsman dan mengirimkan makanan dan minuman untuk keluarga Utsman dengan kayu tersebut (Al-Bankani, 2013, p. 36).
Hari-hari pun berlalu begitu cepat, Shafiyyah hidup bersama Rasulullah Saw dengan penuh keimanan. Akan tetapi tidak ada yang abadi, hari yang membawa kegelapan kepada seluruh alam pun tiba, yaitu ketika wafatnya Rasulullah Saw. Shafiyyah sangat terpukul dengan peristiwa ini, namun ia mencoba untuk tetap sabar dan menyerahkan segalanya kepada Allah Swt.
Pada tahun 50 H, Shafiyyah binti Huyay pun pergi menyusul Rasulullah Saw menghadap Allah Swt. Ia wafat Pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Sebagai penghormatan terakhir, Marwan bin Hakam, orang kepercayaan khalifah menyalati jenazahnya, kemudian ia dikuburkan di Baqi’, Madinah (Indra, 2005, p. 53). Begitulah akhir hidup Ummul Mukminin Shafiyyah binti Huyay, Ia meninggal dalam keadaan iman di hatinya dan telah meNempatkan diri sebagai contoh teladan bagi kaum muslimah lainnya. Semoga Allah Swt meridhoinya. []
Daftar Pustaka
Abdul Hamid, Muhyidin. 1995. Wanita – Wanita Shalihah dalam Lintas Sejarah Islam. Jakarta : Pustaka Al- Kautsar.
Al-Bankani, Majid bin Khanjar. 2013. Perempuan – Perempuan Shalihah. Solo : Tiga Serangkai.
Al-Mishri, Mahmud. 2013. 35 Sirah Shahabiyah. Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat.
Ash-Shalabi, Ali Muhammad. 2014. Sejarah Lengkap Rasulullah SAW. Jakarta : Pustaka Al-kautsar.
Indra, Hasbi. 2005. Potret Wanita Shalihah. Jakarta : Penamadani.
Ridha, Muhammad. 2010. Sirah Nabawiyah. Bandung : Irsyad Baitus Salam.
Sa’ad, Ibn. 1997. Purnama Madinah. Bandung : Al-Bayan.