SHALAT merupakan penyejuk hati dan penenang jiwa. Momen untuk bermunajat bagi orang-orang yang hatinya sedang gundah dan jiwanya sedang resah adalah saat salat, terutama di dalam sujud. Posisi sujud itulah saat terdekatnya seorang hamba dengan Rabbnya.
Rasulullaah SAW bersabda, “Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan salat.” (HR. Ahmad no. 23088 dan Abu Dawud no. 4985).
BACA JUGA: Shalat di Atas Tunggangan yang Berjalan
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa istirahat Rasulullah SAW dan orang-orang yang cinta kepada Allah SWT terletak pada salat. Adapun orang yang lalai dan berpaling, maka dia tidak merasakan kenikmatan tersebut. Bahkan mereka merasakan salat sebagai sesuatu yang sangat berat dilaksanakan, ibarat mereka sedang berdiri di atas bara api. Oleh karena itu, mereka sangat ingin segera menyelesaikan salatnya dikarenakan tidak adanya kesenangan di hatinya dan tidak ada istirahat baginya di dalam salat tersebut.
Jika seseorang senang terhadap sesuatu dan hatinya merasa bisa istirahat dengan hal tersebut, maka hal yang paling berat adalah berpisah dengannya. Sebaliknya, orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang tidak disenanginya akan sangat bahagia ketika berpisah dengan sesuatu tersebut. Orang yang merasa terpaksa melaksanakan salat akan tersiksa dengan lamanya shalat, sekalipun dia memiliki waktu luang dan badan yang sehat.
Salat bisa menjadi qurratul ‘ain (kesenangan hati) dan istirahatnya hati ketika salat tersebut menghadirkan 6 hal, yaitu: (1) ikhlas, (2) kejujuran dan ketulusan, (3) mengikuti dan mencontoh Rasulullah SAW, (4) Ihsan, (5) menyadari anugerah dari Allah Ta’ala, (6) merasa kurang dalam amalan.
1 Ikhlas
Hal yang membawa dan mendorong orang yang ikhlas dalam salatnya untuk melaksanakan salat adalah harapannya kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, mencari rida-Nya, mendekat kepada-Nya, mencari cinta-Nya dan karena melaksanakan perintah-Nya. Hamba tersebut mendirikan salat sama sekali bukan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dunia.
2 Kejujuran dan ketulusan
Hamba yang jujur dan tulus dalam salat akan memusatkan hatinya dalam salat untuk Allah Ta’ala dan berusaha semaksimal mungkin untuk menyempurnakan secara lahir maupun batin. Secara lahir, seorang hamba akan berusaha agar gerakan dan ucapan dalam rangkaian salat bisa sesempurna mungkin. Adapun secara batin, seorang hamba akan berusaha supaya bisa khusyuk dan merasa senantiasa dilihat oleh Allah Ta’ala. Aspek batin ini ibarat ruh salat, sedangkan gerakan dan ucapan dalam salat ibarat badannya.
Jika salat kosong dari ruh, maka salat tersebut seperti badan yang tidak memiliki ruh. Adapun salat yang sempurna secara lahir dan batin, maka dia akan diberikan cahaya seperti cahaya matahari. Allah Ta’ala akan meridainya, dan salat itu berkata kepada orang yang salatnya sempurna tersebut, “Semoga Allah Ta’ala menjagamu sebagaimana Engkau telah menjagaku.”
3 Mengikuti dan mencontoh Rasulullah SAW
Seorang hamba harus bersungguh-sungguh melaksanakan salat, sebagaimana salat Rasululllaah SAW. Dia berpaling dari hal-hal baru yang dibuat manusia dalam salat, baik berupa penambahan maupun pengurangan yang sama sekali tidak ada nukilan dari Rasulullah SAW maupun seorang pun dari para sahabat.
4 Ihsan
Ihsan yakni beribadah kepada Allah Ta’ala dalam keadaan seolah-olah melihat-Nya. Hal ini bisa bisa terwujud bagi hamba yang sempurna keimanannya kepada Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sampai seolah-olah dia melihat Allah beristiwa’ di atas Arsy, berbicara dengan perintah-Nya dan larangan-Nya, mengatur urusan makhluk Nya, semua perkara turun dari sisi-Nya dan juga naik kepada-Nya, amalan hamba dan ruh hamba akan dihadapkan kepada-Nya ketika matinya.
Dia menyaksikan semua itu dengan hatinya. Menyaksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, menyaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang berdiri sendiri, tidak membutuhkan makhluk dan terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menyaksikan bahwa Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Perkasa, Maha Bijaksana, memerintah dan melarang, mencintai dan membenci, rida dan murka, melakukan apa yang dikehendaki, menghukumi dengan apa yang diingini-Nya, dan mengetahui seluruh perbuatan hamba yang lahir maupun batin.
Ihsan ini merupakan pokok bagi seluruh amalan hati. Jika hamba beribadah kepada Allah Ta’ala dengan keadaan seolah-olah melihat-Nya, maka akan muncul sifat malu, mengagungkan Allah, rasa takut, cinta, kembali kepada Allah dengan bertaubat dan mengikhlaskan amal, tawakal, menghinakan diri di hadapan-Nya, memotong bisikan setan serta mengumpulkan tujuannya untuk Allah Ta’ala.
Kadar kedekatan hamba kepada Allah Ta’ala sesuai dengan kadar ihsannya. Oleh karena itu, salat yang dilakukan oleh setiap orang memiliki kadar yang berbeda-beda pula karena kadar ihsan setiap orang berbeda. Bisa jadi salat dua orang terlihat sama namun nilai keutamaannya jauh berbeda ibarat jauhnya langit dengan bumi.
Menyadari anugerah dari Allah
Seorang hamba haruslah senantiasa menyadari dan mengingat bahwa semua anugerah hanya milik Allah Ta’ala. Dia mampu untuk mendirikan salat dengan baik disebabkan karena anugerah dari Allah Ta’ala.
Kesadaran seseorang terhadap anugerah yang Allah Ta’ala berikan ini akan berbanding lurus dengan kadar kesempurnaan tauhid seseorang. Semakin dia sempurna tauhidnya maka semakin tinggi pula kesadarannya akan anugerah yang telah Allah Ta’ala berikan kepada Nya.
Apabila hamba menyadari bahwa ketaatan yang bisa dia laksanakan itu semata-mata adalah anugerah dari Allah Ta’ala, maka dia akan lebih terjaga dari sifat berbangga diri dengan amalannya. Hal ini disebabkan karena dia menyadari bahwa semua itu adalah anugerah dan nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepada Nya.
5 Menyadari anugerah dari Allah
Seorang hamba haruslah senantiasa menyadari dan mengingat bahwa semua anugerah hanya milik Allah Ta’ala. Dia mampu untuk mendirikan salat dengan baik disebabkan karena anugerah dari Allah Ta’ala.
Sahabat radhiyallaahu ‘anhum berkata di hadapan Rasulullaah SAW, “Demi Allah, jikalau bukan karena Allah, maka kami tidak akan mendapat petunjuk. Tidak bisa bersedekah, tidak bisa pula shalat.”
Allah Ta’ala berfirman,
“Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” (QS. Al Hujurat: 17)
Jadi, Allah Ta’ala lah yang menjadikan seseorang menjadi muslim dan mampu mendirikan shalat. Ini sebagaimana perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah taubat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 128)
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibarhim: 40)
Anugerah hanyalah milik Allah Ta’ala dalam menjadikan seorang hamba melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Ketaatan ini merupakan nikmat paling agung bagi seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” (QS. An Nahl: 53)
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengahmu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan)mu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikanmu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al Hujurat: 7)
Kesadaran seseorang terhadap anugerah yang Allah Ta’ala berikan ini akan berbanding lurus dengan kadar kesempurnaan tauhid seseorang. Semakin dia sempurna tauhidnya maka semakin tinggi pula kesadarannya akan anugerah yang telah Allah Ta’ala berikan kepada Nya.
Apabila hamba menyadari bahwa ketaatan yang bisa dia laksanakan itu semata-mata adalah anugerah dari Allah Ta’ala, maka dia akan lebih terjaga dari sifat berbangga diri dengan amalannya. Hal ini disebabkan karena dia menyadari bahwa semua itu adalah anugerah dan nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepada Nya.
6 Merasa kurang dalam amalannya
Sebesar apapun usaha seorang hamba untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala, tetap saja dia dikatakan sebagai orang yang kurang. Hal ini disebabkan karena hak Allah Ta’ala yang harus ditunaikan jauh lebih besar daripada amalan yang telah dilaksanakan hamba. Oleh karena itu, setiap hamba hendaknya menyadari akan kekurangannya tersebut dan memperbanyak istighfar.
BACA JUGA: 6 Rahasia dan Keutamaan Shalat Dhuha
Empat hal yang menjadi pokok permasalahan di atas adalah niat yang benar, semangat yang tinggi, raghbah (rasa berharap yang khusus) dan rahbah (rasa takut yang khusus). Empat hal ini merupakan kaidah-kaidah dalam permasalahan tersebut. Apabila terdapat kekurangan di dalam kondisi keimanan seseorang, maka ada kekurangan di dalam keempat hal tersebut atau kekurangan di sebagiannya. Oleh karena itu, orang yang cerdas akan merenungkan keempat hal ini dan akan bersungguh-sungguh menjadikannya sebagai jalan hidupnya.
Allah Ta’ala tempat meminta pertolongan, kita bertawakal kepada-Nya, memohon taufik kepada-Nya, cukuplah Dia menjadi penolong kita dan Dia lah sebaik-baik Pelindung. []
SUMBER: MUSLIM