SHALAT merupakan kewajiban muslim yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Namun, jelas ada kemudahan yang diberikan untuk menunaikan shalat dalam kondisi tertentu, seperti saat sakit, kondisi perang, berada dalam kendaraan, dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim pasti melakukan aktivitas dan mungkin tak lepas dari mobilitas. Seseorang pastinya perlu bergerak dan mungkin perlu untuk berpindah tempat atau melakukan perjalanan.
Nah, ketika berkendara atau naik kendaraan saat bepergian, bagaimana seorang muslim bisa menjaga shalatnya?
BACA JUGA: Bagaimana Tata Cara Melaksanakan Shalat di Kendaraan?
Melihat realita di lapangan, sering kali terjadi beberapa kemungkinan yang menjadikan seseorang mungkin atau tidak mungkin melakukan shalat fardlu. Beberapa kemungkinan itu di antaranya adalah:
1. Jika yang ditumpangi adalah kendaraan pribadi maka kiranya tidak ada alasan untuk tidak bisa turun dan melakukan shalat fardlu di atas tanah sebagaimana mestinya. Orang yang mengendarai kendaraan pribadi tentunya ia bisa sekehendaknya menghentikan kendaraannya.
2. Jika yang ditumpangi adalah pesawat, kereta api, dan kapal laut maka masih ada kemungkinan untuk bisa melakukan shalat fardlu sebagaimana mestinya di atas kendaraan-kendaraan itu. Masalahnya kemudian tinggallah soal kemauan orang yang bersangkutan untuk shalat atau tidak.
3. Jika yang ditumpangi adalah kendaraan umum seperti bus antar kota maka kecil kemungkinan—untuk tidak mengatakan tidak bisa sama sekali—untuk melakukan shalat fardlu di atasnya. Kiranya sulit shalat di atas bus sambil berdiri, ruku’, dan sujud secara sempurna. Pun sulit pula melakukannya dengan menghadap ke arah kiblat. Harapan yang tersisa adalah bila bus berhenti di tempat peristirahatan—semisal rumah makan—tepat pada waktunya shalat.
Bila kesulitan untuk mendirikan shalat terjadi selama berkendara atau naik kendaraan, satu-satunya yang mesti ia lakukan adalah shalât li hurmatil waqti, yakni melakukan shalat sekadar untuk menghormati datangnya waktu shalat, karena pada dasarnya seseorang tidak diperbolehkan meninggalkan shalat ketika ia menemui datangnya waktu shalat.
Shalat li hurmatil waqti ini dilakukan bagi orang yang tidak bisa memenuhi ketentuan-ketentuan shalat secara sempurna, seperti tidak menemukan air dan debu untuk bersuci, dan tidak bisa menghadap kiblat, ruku’ dan sujud secara sempurna. Orang yang melakukan shalat li hurmatil waqti wajib mengulangi shalatnya ketika telah memungkinkan untuk melakukannya secara sempurna.
Imam Nawawi dalam kitab Majmû’ menuturkan:
قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ
“Para sahabat kami berpendapat, bila telah datang waktu shalat fardlu sementara mereka dalam perjalanan, dan bila turun untuk shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat khawatir akan tertinggal dari rombongannya atau mengkhawatirkan dirinya sendiri atau hartanya, maka tidak diperbolehkan baginya meninggalkan shalat dan mengeluarkan dari waktunya. Ia mesti shalat di atas kendaraannya untuk menghormati waktu shalat dan wajib mengulanginya (bila telah memungkinkan), karena hal itu merupakan uzur yang jarang terjadi.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab [Jedah: Maktabah Al-Irsyad], tt., juz III, hal. 222)
Namun, shalat juga boleh dikerjakan di atas kendaraan. Jika masih memungkinkan untuk mendirikan shalat dengan sempurna di atas/dalam kendaraan, maka shalat masih tetap harus ditegakkan.
Diriwayatkan, Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk melakukan shalat di atas kapal laut ketika menuju ke negeri Habasyah dengan berdiri.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي السَّفِينَةِ قَائِمًا مَا لَمْ يَخْشَ الْغَرَقَ
“Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan Ja’far bin Abi Thalib untuk shalat di atas kapal laut dengan berdiri selama tidak takut tenggelam.” (HR. Al-Bazzar)
Oleh karena itu, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait shalat di atas/dalam kendaraan. Setidaknya ada 5 hal, yakni:
1 Shalat wajib harus dilakukan dengan sempurna
Sempurna yang dimaksud disini adalah shalat bisa dilaksanakan dengan dengan berdiri, bisa rukuk, bisa sujud, dan menghadap kiblat.
Jika di atas sebuah kendaraan seseorang bisa shalat sambil berdiri, bisa rukuk, bisa sujud, dan menghadap kiblat maka dia boleh shalat wajib di atas kendaraan tersebut. Seperti orang yang shalat di kapal.
BACA JUGA: Shalat di Atas Tunggangan yang Berjalan
2 Jika tidak mungkin menghadap kiblat, maka…
Jika di atas sebuah kendaraan seseorang tidak mungkin shalat sambil berdiri dan menghadap kiblat, maka dia tidak boleh melaksanakan shalat wajib, kecuali dengan dua syarat:
1. Khawatir keluar waktu shalat sebelum sampai di tujuan.
2. Tidak memungkinkan baginya untuk menghentikan kendaraan sejenak untuk shalat. Semacam orang yang naik pesawat, kereta api, dst.
Dari Ya’la bin Murrah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan:
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat berada di sebuah daerah yang sempit ketika safar dan beliau di atas kendaraan. Ketika itu turun hujan, dan suasana tanah becek di bawah mereka. Kemudian datanglah waktu shalat. Beliau memerintahkan muadzin untuk adzan dan iqamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maju dengan hewan tunggangannya dan mengimami mereka. Beliau shalat dengan isyarat kepala, dimana sujudnya lebih rendah dari pada rukuknya. (HR. Ahmad, dan Turmudzi. Hadis ini diperselisihkan statusnya oleh para ulama).
3 Boleh shalat sambil duduk
Jika tidak bisa shalat sambil berdiri, cara shalat yang dibolehkan adalah duduk semampunya. Dari Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda:
“Shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu, sambil duduk, dan jika tidak mampu shalatlah sambil tiduran.” (HR. Bukhari 1117)
4 Menghadap kiblat
Jika di atas kendaraan mampu shalat sambil menghadap kiblat maka wajib shalat dengan menghadap kiblat, meskipun sambil duduk. Namun jika tidak memungkinkan menghadap kiblat, dia bisa shalat dengan menghadap sesuai arah kendaraan.
Allah berfirman,
لا يُكلف الله نفساً إلا وسعها
“Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sebatas kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Allah juga berfirman,
فاتقوا الله ما استطعتم
“Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)
5 Berlaku untuk shalat wajib
Ketentuan di atas hanya berlaku untuk shalat wajib. Adapun shalat sunah, boleh dilakukan dengan duduk dan tidak menghadap kiblat, meskipun dua hal itu bisa dilakukan.
Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitabnya Kifâyatul Akhyâr menuturkan:
يجوز للْمُسَافِر التنقل رَاكِبًا وماشياً إِلَى جِهَة مقْصده فِي السّفر الطَّوِيل والقصير على الْمَذْهَب
“Diperbolehkan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan baik berkendara atau berjalan kaki untuk melakukan shalat sunah dengan menghadap ke arah tempat tujuannya, di dalam perjalanan yang panjang (yang diperbolehkan mengqashar shalat) dan di dalam perjalanan yang pendek (yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat) menurut pendapat yang dipegangi madzhab (Syafi’i).” (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr [Damaskus: Darul Basyair], 2001, juz I, hal. 125)
Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits:
عَنْ جَابِرٍ كَانَ رَسُول اللَّهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ
“Dari Jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila beliau hendak shalat fardhu, maka beliau turun dan shalat menghadap kiblat.” (HR. Bukhari) []
SUMBER: ISLAM NU | KONSULTASI SYARIAH