KECELAKAAN pesawat Lion Air JT 610 pada Senin (29/10/2018) diduga menewaskan seluruh penumpang dan kru. Hingga kini, pencarian dan evakuasi korban masih berlangsung.
Masyarakat turut merasakan kesedihan atas musibah ini. Shalat ghaib pun digelar di berbagai tempat.
Bagaimana pandangan Islam terkait shalat ghaib bagi jenazah yang belum ditemukan jasadnya?
Para ulama punya pandangan yang berbeda-beda mengenai syariat shalat ghaib tersebut.
BACA JUGA: Menag Ajak Masyarakat Berdoa dan Lakukan Shalat Ghaib untuk Korban Gempa Lombok
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat shalat ghaib tidak disyariatkan secara mutlak. Sebelumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat ghaib ketika An-Najasyi, raja Habasyiah, wafat. Beliau melakukan shalat ghaib di Madinah.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, shalat ghaib kepada An-Najasyi yang dilakukan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam kala itu merupakan kekhususan yang tidak boleh diikuti oleh umat. Kedua imam berpedoman pada dalil yang menyebut, “Bahwasanya bumi ini telah diratakan sehingga beliau dapat melihat tempat An-Najasyi berada.” Sehingga keadaan Nabi saat itu ibarat sedang berdiri di depan jenazah. Apalagi, beliau tidak pernah dinukil melakukan shalat ghaib kepada seorang pun selain kepada An-Najasyi, maka ini menunjukkan bahwa shalat ghaib merupakan amalan yang khusus.
Sementara ulama lainnya berpendapat bahwa shalat ghaib tetap disyariatkan. Namun, sola mutlak tidaknya atau mutlak dengan batasan tertentu kah? Persoalan ini masih diwarnai perbedaan pendapat ulama.
Pertama, Imam Asy-Syaifi’i dan Ahmad berpendapat disyariatkan shalat ghaib secara mutlak untuk semua jenazah yang meninggal di tempat jauh. Meskipun jenazah tersebut sudah dishalati. Dalilnya ada pada riwayat shalat ghaib yang dilakukan Nabi kepada An Najasyi yang disebutkan dalam hadis.
Ketika Raja Najasyi ini meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan para sahabat untuk melakukan shalat ghaib di Madinah. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Al-Bukhari no. 1337)
Kedua, dalam riwayat yang lain, Imam Ahmad juga berpendapat, shalat ghaib hanya disyariatkan untuk jenazah yang mempunyai sifat seperti An-Najasyi. Sifat yang dimaksud adalah seorang yang shalih, mempunyai kedudukan, dan memiliki jasa kepada Islam. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Fatawa beliau (13:159).
BACA JUGA: Bingung Pilih yang Mana? Segera Shalat Istikharah
Ketiga, Shalat ghaib hanya disyariatkan untuk semua jenazah kaum muslimin yang tidak dishalati seperti An-Najasyi. Misalanya, meninggal di negeri kafir sehingga tidak ada yang menyalati atau meninggal di tempat terpencil yang tidak ada seorang pun yang menyalatinya, atau hilang ketika kasus kecelakaan. Sepeti peawat hilang atau kapal tenggelam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Orang yang menghilang, ketika dia mati di sebuah daerah dan dia tidak dishalati, maka jenazah ini dishalati dengan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghaib untuk Raja Najasyi. Karena beliau meninggal di antara orang kafir dan beliau belum dishalati. Sedangkan jenazah yang sudah dishalati ketika meninggal, maka tidak perlu dishalati ghaib. Karena kewajiban shalat jenazah menjadi gugur, ketika sudah ada kaum muslimin yang menshalatinya. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat ghaib (untuk jenazah tertentu) dan beliau tidak melakukan shalat ghaib untuk jenazah yang lain. Dan semua di dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang sengaja ditinggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. .. Allahu a’lam.”
Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat. Sehingga, ketika ada kasus pesawat yang hilang di hutan atau masuk ke laut, atau kapal tenggelam, atau jenazah hilang di hutan, dan jenazah korban dipastikan belum dishalati dan tidak akan dishalati, maka pihak keluarga atau kaum muslimin lainnya, disyariatkan untuk melakukan shalat ghaib. []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH