NABI–shallallahu ‘alahi wa sallam- pernah memerintahkan umatnya untuk shalat dengan memakai sendal sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi.
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda:
خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ، وَلَا خِفَافِهِمْ
“Hendaknya kalian menyelisihi orang-orang Yahudi, sesungguhnya mereka tidak shalat di sendal-sendal dan khuf-khuf mereka.”[HR. Abu Dawud : 652 dan selainnya].
Namun, perintah nabi memiliki berbagai macam kemungkinan hukum. Bisa wajib, bisa sunnah, bisa mubah (boleh). Dan perintah dalam hadits di atas bermakna mubah (boleh). Karena telah diriwayatkan dari Amer bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, beliau berkata : “Aku pernah melihat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat dalam kondisi telanjang kaki dan memakai sendal.”[HR. Abu Dawud , Ibnu Majah dan selainnya].
Ibnu Rajab Al-Hambali –rahimahullah- (wafat : 796 H) berkata :
والصلاة في النعلين جائزة، لا اختلاف بين العلماء في ذلك
“Shalat di atas kedua sendal hukumnya boleh, tidak ada perselisihan di antara ulama’ dalam hal tersebut.”[Fathul Bari : 3/42].
BACA JUGA: Bolehkah Shalat Jamak Ketika Kemping Di Daerah Sendiri?
Bahkan menurut imam An-Nawawi –rahimahullah-, shalat dengan telanjang kaki,tanpa memakai sendal, lebih utama dari shalat dengan memakainya. Karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lebih banyak shalat tanpa memakai sendal. Kalaupun memakainya, hanya bersifat kadang-kadang saja, bukan terus menerus sebagai isyarat akan bolehnya hal ini.
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :
والصلاة حافيًا أفضل؛ لأنه الأكثر من فعل رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، وإِنما صلى بالنعلين في بعض الأوقات بيانًا للجواز
“Shalat dengan telanjang kaki (tanpa sendal) lebih utama (dari shalat memakai sendal). Karena sesungguhnya hal ini yang lebih banyak dilakukan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau shalat dengan memakai dua sendal di sebagian waktu hanya untuk menjelaskan bahwa hal itu boleh.”[Al-Masail Al-Mantsurah/Fatawa Imam An-Nawawi : 53, dikumpulkan oleh murid beliau, Asy-Syaikh ‘Alaud-Din bin Al-Athar –rahimahullah- ].
Dari sini kita bisa mengambil faidah, jika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan dua amalan sekaligus, dimana salah satunya lebih banyak beliau lakukan dari yang satunya, maka amalan yang lebih banyak dilakukan adalah amalan yang lebih afdhal (lebih utama). Hal ini dengan catatan, bahwa keduanya merupakan perkara yang secara asal hukumnya mubah, atau sunnah, serta tidak ada dalil yang menunjukkan larangan atau celaan kepada salah satu dari keduanya. Contoh lain seperti posisi kencing. Nabi pernah kencing sambil berdiri dan duduk (jongkok). Akan tetapi, riwayat yang menunjukkan nabi kencing sambil duduk (jongkok) lebih banyak dari yang berdiri. Maka kencing sambil duduk (jongkok) secara asal lebih utama. Terkecuali ada hal-hal lain yang bisa jadi merubah hukum perkara yang kurang afdhal menjadi lebih afdhal.
Jadi, shalat memakai sendal hukumnya mubah (boleh) saja, bukan sunnah sebagaimana yang dipahami oleh sebagian pihak, apalagi wajib. Jika hukumnya hanya boleh, maka untuk melakukannya harus mempertimbangkan maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan) yang mungkin akan muncul. Suatu amalan yang hukumnya sunnah saja, jika dilakukan akan menimbulkan kerusakan, atau mudharat, atau fitnah yang lebih besar, maka dilarang untuk dilakukan, apalagi amalan yang status hukumnya cuma mubah. Tentu harus lebih mempertimbangkan hal ini. kebolehan inipun, disyaratkan bahwa sendalnya harus suci dari najis.
BACA JUGA: Mengubah Niat ketika Telah Masuk di Dalam Shalat
Salah satu contoh dilarang shalat memakai sendal, jika lantai masjidnya telah dihaluskan dan dibersihkan seperti telah dikeramik, atau yang semisalnya, atau telah dihampari dengan alas yang baik, bagus dan bersih seperti karpet dan yang semisalnya. Karena shalat dengan mamakai sendal hukumnya hanya mubah, sedangkan di sana ada larangan untuk mengotori masjid. Maka dalam kondisi seperti ini, larangan lebih kuat dan diutamakan dari sekedar melakukan perkara mubah. Dan biasanya, shalat dengan memakai sendal di masjid yang seperti ini fitnah yang akan muncul lebih besar. Dan jangan lupa, bahwa masjid nabi dulu lantainya tanah/pasir, bukan seperti masjid-masjid sekarang ini. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat. Barakallahu fiikum. []
Facebook: Abdullah Al Jirani