SEORANG yang shalat dalam kondisi menggendong anak yang mamakai popok, di mana di dalam popok tersebut terdapat najis (air kencing atau tinja), maka shalatnya tidak sah dan harus diulang dari awal.
Hal ini berlaku secara mutlak, baik pengetahuan terhadap keberadaan najis itu sebelum shalat lalu lupa, atau di tengah shalat, atau sesudah shalat selesai. Pendapat ini merupakan pendapat baru Imam Syafi’i dan merupakan pendapat yang muktamad (resmi) dalam mazhab Syafi’i.
Imam An-Nawawi (w.676 H) rahimahullah berkata :
أَمَّا إذَا حَمَلَ قَارُورَةً مُصَمَّمَةَ الرَّأْسِ بِرَصَاصٍ أَوْ نَحْوِهِ وَفِيهَا نَجَاسَةٌ فَلَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ عَلَى الصَّحِيحِ
“Adapun apabila seorang membawa botol yang kepala (botolnya) disumbat dengan peluru atau yang semisalnya (yang tidak rembes) dan di dalamnya terdapat najis, maka shalatnya tidak sah menurut pendapat yang sahih (benar).” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab : 3/150).
BACA JUGA: Shalat Memakai Pakaian Sutra dan Pakaian yang Dighasab
Di halaman yang lain, beliau juga menyatakan :
فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِيمَنْ صَلَّى بِنَجَاسَةٍ نَسِيَهَا أَوْ جَهِلَهَا: ذَكَرْنَا أَنَّ الْأَصَحَّ فِي مَذْهَبِنَا وُجُوبُ الْإِعَادَةِ وَبِهِ قَالَ أَبُو قِلَابَةَ وَأَحْمَدُ
“Pendapat-pendapat para ulama tentang seorang yang shalat dalam kondisi lupa atau tidak tahu kalau membawa najis. Telah kami sebutkan, sesungguhnya yang lebih sahih (lebih benar) di dalam mazhab kami (mazhab Syafi’i) diwajibkan untuk mengulanginya. Imam Abu Qilabah dan Ahmad berpendapat dengannya.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab : 3/153).
Dalam kitab Minhaj Ath-Thalibin beliau rahmahullah menyatakan :
وَلَوْ صَلَّى بِنَجَسٍ لَمْ يَعْلَمْهُ وَجَبَ القَضَاءُ فِيْ الْجَدِيْدِ وَإِنْ عَلِمَ ثُمَّ نَسِيَ وَجَبَ القَضَاءُ عَلَى الْمَذْهَبِ
“Seandainya seorang shalat dengan membawa najs yang tidak dia ketahui, maka wajib mengqadha (menggantinya) di dalam pendapat yang baru (imam Syafi’i). Dan jika (sebelumnya) tahu lalu lupa, wajib mengadhanya juga menurut mazhab (Syafi’i).” (Minhaj Ath-Athalibin, hlm. 32).
Mereka beralasan, bahwa suci dari najis itu termasuk thaharah (bersuci) yang sifatnya wajib, maka tidak bisa gugur dengan ketidaktahuan dan lupa. Hal ini sebagaimana seorang yang telah selesai dari shalat, tapi lupa belum wudhu, maka wajib mengulang shalatnya.
Selain itu, membersihkan diri dari najis termasuk syarat sahnya ibadah shalat. Sedangkan khithab syarat (percakapan/redaksi syarat) termasuk khithab wadhi (percakapan yang sifatnya peletakkan), tidak terpengaruh adanya ketidaktahuan sebagaimana bersuci dari hadats.(simak : Nihayah Muhtaj : 2/34, Tuhfah Al-Muhtaj : 2/136).
Ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang berpendapat, bahwa apabila seorang mengetahui bahwa dia membawa najis setelah selesai shalat, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulang.
Diantara mereka adalah Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib, Imam Al-Haramain, Al-Ghazali dan selain mereka. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Abu Ali bin Abu Hurairah dan merupakan pendapat lama Imam Syafi’i.
BACA JUGA: Ketika Seorang Sahabat Ucapkan Yarhamukallah di Dalam Shalat
Mereka berdalil dengan sebuah riwayat dari Abu Said Al-Khudri, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas sendalnya ketika shalat saat diingatkan malaikat Jibril bahwa ada kontoran di sendalnya.
Namun pendapat ini lemah dari dua sisi:
(1). Yang dimaksud “kotoran” di dalam hadis ini sifatnya masih multi tafsir/kemungkinan. Bisa jadi yang dimaksud bukan najis, tapi kotoran biasa.
(2). Mungkin jadi di awal-awal Islam, shalat dengan membawa najis belum dilarang. (Simak : Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab : 3/153). Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani