ADA yang sangat saya simpan dalam sebuah rincik gerimis tebal di Shubuh hari. Ini terjadi sekitar tahun 1985. Atau mungkin 1986. Kami sekeluarga terbiasa tidur di ruang tengah rumah kontrakan. Simpang di waktu itu adalah sawah terbentang luas.
BACA JUGA: 75 Ribu
Pukul 04.00 dini hari, saya dibangunkan oleh kakak laki-laki saya. Ia jago maen gitar. Wajahnya mirip Eet Syahranie. Kalau udah pake baju kemeja hitam, celana jins belel, pegang gitar listrik, saya suka banyak bengong di depannya dia memainkan sayatan-sayatan dahsyat Semut Hitam, Ikuti, atau lagu-lagu Ikang.
Saya mendengar air hujan kecil menimpa genteng rumah. Ia duduk di samping saya sambil tersenyum. “Ayo bangun. Kita ke masjid…”
Setengah sadar, saya bangun. Mengambil air wudhu perlahan ke belakang rumah. Ia memakaikan saya sarung dan peci hitam lusuh, tapi kemudian sarungnya saya selendangkan di pundak karena jalanan basah.
BACA JUGA: Masker Yuk!
Kami menyusuri jalan setapak menuju satu-satunya masjid yang ketika itu ada di wilayah kami yaitu di Gang Sumba. Saya lupa lagi nama masjidnya. Yang menjadi imam shalat Shubuh adalah Ustad Abdullah Joban. Usai shalat, kami balik lagi ke rumah.
Hujan masih terus turun. Pagi berdebum perlahan. Sunyi dan dingin. Itu adalah pagi yang indah dalam hidup saya. []