Oleh: Kaka Samiha
ADZAN Isya berkumandang. Segera kami sekeluarga bersiap menuju masjid terdekat. Tidak perlu menunggu lama, dimulailah shalat isya berjamaah.
Shalat berjamaah isya sudah selesai. Kami semua menunggu dimulainya shalat taraweh dengan berdzikir dan shalat sunnah.
Tak lama tarawih pun dimulai. Saat itu yang menjadi imam adalah imam yang terkenal dengan bacaan dan gerakannya yang cepat. Terdengar makmum disekitar ku bergumam, “Yes, kali ini pasti shalatnya cepat beres.”
“Kali ini tarawihnya capek,” keluh Riri setelah selesai shalat tarawih.
“Lho, biasanya kamu senang Ri, kalau yang jadi imam beliau,” tanyaku sambil mengunci pintu.
“Itu kan biasanya, sekarang kan bulan Ramadhan kak, bulan luar biasa. Lagian dulu aku masih belum paham. Belum mengerti benar soal agama. Beribadah hanya sekedar rutinitas saja. Sekarang aku mulai belajar soal agama,” timpal Riri.
“Meski tarawih itu sunnah, tapi kita tetap harus memperhatikan rukun dan syarat sahnya shalat. Kalau diabaikan, artinya kita rugi. Bukankah pahala sunnah itu kan dilipat gandakan pada bulan ini?” katanya lagi.
“Pintarnya adik kakak ini,” puji saya sambil mengelus kepalanya.
Manusia memang jauh dari sempurna. Seorang imam yang bacaan dan gerakannya cepat mungkin sedang terburu-buru dikejar waktu. Namun apapun alasannya, ternyata dalam kumpulan jamaah itu tidak semua anak-anak muda dan bapak-bapak yang kondisinya sehat bugar saja. Ada beberapa kakek, dimana antara sujud dan berdiri melanjutkan rakaat saja gerakannya begitu pelan dan hati-hati. Hal ini justru membuat mereka merasa capek. Merasa terbebani oleh gerakan imam yang cepat.
Ibu saya malah berujar, “Bagaimana itu shalat ko kayak balap mobil. Masa tahiyat akhir nya begitu singkat, baca Al-Fatihah nya juga tidak diperhatikan makhrajnya.”
“Ya sudah bu, kalau begitu dari pada kita terus mengomel dan mengkritik orang, lebih baik besok-besok shalat tarawih di rumah saja, bagaimana?” kata si Adik. []