KAUM muslim sepakat bahwa rambut wanita adalah aurat. Karena itulah, mereka diwajibkan untuk menutupi kepala mereka dengan jilbab yang dijulurkan sampai menutupi dada.
Allah berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,” (QS. an-Nur: 31).
Terlebih ketika shalat. Para wanita harus menutupi aurat mereka dengan sempurna, karena itu bagian dari syarat sah shalat. Termasuk menutup rapat kepalanya, jangan sampai ada rambut yang keluar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah baligh, kecuali dengan memakai jilbab,” (HR. Ibnu Khuzaimah, 775 dan Al-A’dzami mengatakan sanadnya shahih).
Bagaimana jika ada rambut yang terlihat dalam shalat?
Tersingkapnya rambut wanita ketika shalat, hukumnya sama dengan ketika ada aurat lain yang tersingkap.
Untuk kasus ini, ulama memberikan rincian:
Pertama, jika yang bersangkutan mengetahui dan segera membenahinya, maka shalatnya sah.
As-Syirazi, ulama Syafi’iyah:
Jika bajunya diterpa angin hingga terbuka auratnya, kemudian langsung dia tutup kembali, maka shalatnya tiak batal. (al-Muhadzab, 1/87)
Kedua, yang bersangkutan mengetahui dan tidak segera menutupi
Ulama berbeda pendapat,
Pendapat pertama, hukumnya batal. Karena terbuka aurat, baik sedikit maupun banyak hukumnya sama saja.
Ini adalah pendapat Imam as-Syafi’i.
Pendapat kedua, hukumnya tidak batal. Karena hanya sedikit.
Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah.
Ibnu Qudamah mengatakan,
“Jika aurat orang yang shalat terbuka sedikit, shalatnya tidak batal. Ini ditegaskan oleh Ahmad dan pendapat Abu Hanifah. Sementara as-Syafii mengatakan, shalatnya batal. Karena ini hukum terkait aurat, sehingga sama saja sedikit maupun banyak, sebagaimana melihat,” (al-Mughni, 1/651).
Ada satu hadis yang bisa dijadikan acuan, hadis dari Amr bin Salamah radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
“Kami tinggal di kampung yang dilewati para sahabat ketika mereka hendak bertemu Nabi di Madinah. Sepulang mereka dari Madinah, mereka melewati kampung kami. Mereka mengabarkan bahwa Rasulullah bersabda demikian dan demikian. Ketika itu, saya adalah seorang anak yang cepat menghafal, sehingga aku bisa menghafal banyak ayat Al-Quran dari para sahabat yang lewat. Sampai akhirnya, ayahku datang menghadap Rasulullah bersama masyarakatnya, dan beliau mengajari mereka tata cara shalat.
Beliau bersabda,
“Yang menjadi imam adalah yang paling banyak hafalan qurannya.”
Sementara Aku (Amr bin Salamah) adalah orang yang paling banyak hafalannya, karena aku sering menghafal. Sehingga mereka menyuruhku untuk menjadi imam. Akupun mengimami mereka dengan memakai pakaian kecil milikku yang berwarna kuning. Ketika aku sujud, tersingkap auratku. Hingga ada seorang wanita berkomentar,
‘Tolong tutupi aurat imam kalian itu.’ Kemudian mereka membelikan baju Umaniyah untukku. Tidak ada yang lebih menggembirakan bagiku setelah islam, melebihi baju itu. (HR. Abu Daud 585 dan dishahihkan al-Albani)
Yang dimaksud terbuka aurat dalam kasus ini adalah terbuka sedikit auratnya. Dan shalat mereka tidak batal. Rasulullah tidak menyuruh para jamaah untuk mengulangi shalat. Inilah yang menjadi acuan jumhur ulama bahwa sedikit aurat yang tersingkap, dan tidak langsung ditutup, tidak membatalkan shalat.
Syaikhul Islam mengatakan,
“Jika ada rambut atau anggota badan wanita yang tersingkap sedikit, maka tidak ada kewajiban untuk mengulangi shalat menurut mayoritas ulama. Ini pendapat Abu Hanifah dan Ahmad. Namun jika yang tersingkap itu banyak, wajib mengulangi shalat di waktunya, menurut para ulama, baik ulama 4 madzhab maupun yang lainnya.” (Majmu’ al-Fatawa, 22/123). Demikian, Allahu a’lam. []
Sumber: Konsultasisyariah