JIKA saya harus menyebutkan salah satu orang paling hebat dalam kehidupan saya, mustahil saya tidak menyebut namanya. Anak berambut keriting parah.
Saya dan dia dekat karena bangku kosong di kelas 3 SMP. Di hari kedua, saya tidak punya pilihan sama sekali untuk duduk dimana karena hari pertama saya tidak masuk, maka satu-satunya bangku kosong adalah sebelah dia. Persis depan meja guru.
Saya merasa sial. Seumur-umur, saya belum pernah duduk paling depan; saya bukan anak pintar dan ganteng sehingga jelas duduk paling depan dan hanya berjarak satu meter dari meja guru akan semakin membuat saya tak terlindung sekaligus menghancurkan kepercayaan diri saya yang tak pernah terbentuk.
BACA JUGA:Â Keburukan Kita, Kebaikan Orang Lain
Saya memandangi dia: dua tahun sebelumnya, saya mengenal dia seperti berlian; dia bagus namun tak tersentuh.
Anak itu seperti alien, IQ-nya sendirian mungkin tidak setara dengan sebagian besar di kelas kami. Dia seharusnya tidak hidup di Purwakarta. Seharusnya paling tidak dia bersekolah di Jepang. Kali kedua saya memandangi dia, saya menyadari fakta bahwa dia duduk sendirian di hari pertama sekolah membuat saya berbesar hati, karena bisa jadi kebetulan tidak ada yang mau duduk sebelahan dia.
Sepekan, kami mulai cair. Dia tidak seperti monster yang ada dalam kepala saya sebelumnya. Si kribo ini tipe anak yang yah ‘well, saya punya segalanya, jadi peduli setan orang lain’ atau, ‘Kamu? Kamu siapa?’.
Satu tahun itu, setidaknya tiga pelajaran berharga saya dapatkan dari dia.
1). Dia adalah pembaca pertama cerpen-cerpen saya. Dia membaca dan memberikan masukan sehingga saya berkembang. Saya ga tau, dia melakukan itu karena memang suka dengan karya saya ataukah sekadar kasihan.
2). Dia mengajarkan saya untuk tak pernah mencontek. Sebelumnya, saya juga tak pernah mencontek. Tapi duduk bersamanya, dan melewati ulangan demi ulangan semua pelajaran eksak, membuat saya semakin mengerti tentang arti jujur.
3). Bersamanya, minat dan kemampuan berbahasa Inggris saya meningkat pesat. He was just like google to me. Itu gambaran dia yang paling tepat ketika itu, saya rasa.
Usai SMP, kami bersekolah lagi di sekolah yang sama. Beda kelas. Dia 1.6. Saya 1.2. Kami tetap menjalin hubungan, dan satu kata yang dia ucapkan ketika akan berpisah setelah SMP ‘keep in touch ya’ membuat saya sadar, betapa baiknya si kribo ini.
BACA JUGA:Â Preman Pilihan
Dia membuka semua hal pertama dalam hidup saya fase itu. Kegemaran saya pergi ke bioskop bermula dari dia. Di tahun 1991, dia pertama kali mencekoki saya mengajak ke Plaza menonton “Home Alone” dan sampai tahun 1999, saya rela tidak makan agar bisa nonton. Film terakhir yang saya tonton adalah MI:1 Tom Cruise di Jatinangor.
Di kelas satu SMA, di hari ketujuh, pas jam istirahat, dia mendatangi dan mengajak saya untuk ikut eskul pencak silat. Jika bukan karena dia, saya mungkin tak akan ikut kegiatan yang kelak menjadi hidup saya yang kedua.
Tentu, sebagai teman, ada saja dari dia yang banyak mengecewakan saya, atau mungkin saya yang lebih banyak membuat dia marah.
Tapi, apapun itu, kehadiran dia di tahun 1991 itu, menyimpan kenangan yang luar biasa buat saya, bahwa Allah SWT selalu mengirimkan seseorang kepadamu tanpa maksud; ada pelajaran dan catatan dalam hidupmu sekarang ini dan di masa yang akan datang. And because of that, I hardly forget him for sure.
Thanks, Kribo! []