ORANG yang dangkal wawasan religiusitasnya, akan mudah memahami kemenangan dari pandangan kasatmatanya. Padahal, Islam lebih menekankan pentingnya kemenangan rohani ketimbang kemenangan materi belaka. Untuk itu, Rasulullah pernah menyatakan sesuatu yang masih belum dimengerti sebagian sahabat, bahwa kemenangan Perang Badar, dengan segala kemegahan harta dan rampasan perang, itu baru sekadar kemenangan kecil-kecilan.
“Lho? Kok kemenangan kecil-kecilan?” beberapa sahabat memprotes.
“Karena kemenangan yang sebenarnya, ketika kalian sanggup menaklukkan hawa nafsu,” ujar Rasulullah.
Gegap gempita dan eforia kemenangan tetap berlangsung, dan Rasulullah membiarkan para sahabat bersuka-cita atas kemenangan tersebut. Di sisi lain, para musuh yang masih memiliki harta-kekayaan, bersikeras membangun agenda dan kekuatan untuk membalas-dendam. Mereka berjuang mati-matian, dari hari ke hari, bulan ke bulan, untuk menggalang persatuan dan kekompakan, bahkan mengumpulkan segenap pemikiran dan strategi jitu untuk mengalahkan kekuatan lawan.
Bahkan ada seorang ibu-ibu nekat, yang rela mengorbankan harta-bendanya untuk membayar seorang pemuda tangkas yang ahli menombak dan memanah. Orang itu terus berlatih dan mengasah kemampuannya menombak, untuk diterjunkan ke medan perang kelak, sampai kemudian ia berhasil meraih cita-cita dan harapan yang didambakannya.
Rasa percaya diri para sahabat dan pengikut Muhammad sebagai Rasulullah, serta keyakinan akan meraih kemenangan seperti Perang Badar, seakan nampak di depan mata. Mereka merasa yakin akan pertolongan Allah, meski syarat-syarat untuk mendapatkan pertolongan itu telah diabaikannya. Sebagian mereka hanya berleha-leha dan tak mau mengasah kemampuan dan kemahirannya. Justru mereka menghitung ketip demi ketip akan kesuksesan di depan mata, terutama harta rampasan perang yang kelak akan diperolehnya.
Rasulullah seakan menangkap sinyal akan kekalahan, ditambah tidak adanya ayat yang turun untuk memberitahu para pengikutnya perihal apa yang akan terjadi. Sampai kemudian datanglah hari “H” dan meletuslah Perang Uhud, dengan kesiapan sang lawan yang lebih cekatan dan tangguh. Abdullah bin Ubay bin Salul dengan lihai mengendus kelemahan para pasukan pemanah yang mengabaikan strategi matang yang telah dipersiapkan Rasulullah.
BACA JUGA: Ibnu Taimiyah dan Corak Pemikirannya
Pasukan pemanah dari pihak musuh berputar haluan untuk merebut dan mengendalikan bukit dan benteng pertahanan. Ratusan pemanah andal dan telah dipersiapkan matang dengan segenap kecerdasan dan strategi canggih, kini menjadi ujung-tombak yang kemudian berhasil meluluhlantakkan pasukan Rasulullah. Beberapa sahabat melindungi Nabi di balik batu besar, sampai kemudian sebujur anak panah melesat, hingga menanggalkan gigi gerahamnya.
Pemuda penombak bernama Wahsyi yang telah mengadakan training dan pelatihan berbulan-bulan, akhirnya berhasil menombak tubuh Hamzah, paman Rasulullah yang dianggap biang keladi yang menimbulkan kemenangan Perang Badar. Tetapi kali ini, Wahsyi telah mencapai kesuksesan materi yang didambakannya. Tubuh Hamzah dikoyak-koyak oleh perempuan yang membalas-dendam atas kematian suaminya di Perang Badar dulu. Sampai kemudian, dengan segenap emosi dan kemarahan, perempuan nekat itu berhasil mengunyah-ngunyah organ jantungnya.
Saat ini, kemenangan materi beralih ke pihak lawan, hingga kaum musyrikin Qurays memeriahkan gegap-gempita dengan kemeriahan pesta-pora yang diselenggarakan selama berhari-hari.
Rasulullah semakin tajam membaca sinyal kebenaran yang diperingatkan Allah, bahwa kemenangan materi yang mengandalkan kenikmatan duniawi, hanyalah sesaat dan sekejap mata. Di sisi lain, banyak orang yang nampaknya lebih siap menghadapi ujian kekalahan (musibah) ketimbang ujian kemenangan (kesenangan). Untuk itu, kenapa kepekaan dan kemenangan rohani, sebagai bekal meraih kenikmatan sejati (keabadian), harus dikorbankan demi untuk mencapai kesenangan sesaat yang semu dan sekejap mata saja?
Maka, semakin terarah agenda yang dirancang dalam benaknya. Wahyu Allah semakin santer memberinya petunjuk. Bagaimanapun para jamaah dan pengikut Rasulullah harus lebih mengutamakan kemenangan rohani, agar dapat melangkah ke masa depan dengan revolusi mental dan moralitas yang baik.
Beberapa ayat kemudian turun, dan dibacakan di hadapan para sahabat, agar mereka lebih tenang dan tentram atas kekalahan Uhud yang mereka derita. Terjadi sanering pada sebagian pengikut yang kurang peka dalam memahami nilai kehidupan dan tanda-tanda zaman. Mereka berpaling meninggalkan Rasulullah. Sebagian ibu-ibu yang suaminya masih hidup memprotes keras, “Jika dia itu memang kekasih Tuhan, kenapa tak punya kemampuan meramal nasib manusia di masa depan? Coba perhatikan, seberapa parah kami harus menanggung kekalahan dan kerugian ini?”
Dengan demikian, wahai para kandidat presiden dan pejabat publik yang terhormat. Seperti itulah mentalitas orang yang semata-mata hanya siap untuk menang, tanpa punya kesiapan untuk menerima kekalahan. Sedangkan Rasulullah (Islam) mengajarkan, bahwa kita harus rendah-hati dan bersyukur dalam memperoleh nikmat dan kemenangan, juga harus tenang dan sabar dalam menerima kekalahan.
Mental semacam itulah yang harus disandang oleh manusia sejati (insan kamil), sehingga Rasulullah senantiasa memperingatkan, bahwa orang yang memiliki kekuatan iman, tak ada masalah dengan dua kemungkinan itu. Karena, kesuksesan dan kemenangan materi, tidak selamanya diperoleh oleh orang baik dan saleh. Juga tak selamanya diraih oleh mereka yang ingkar dan durhaka pada Allah.
Untuk itu, hanya orang-orang beriman yang lebih siap menghadapi kemungkinan menang maupun kalah. Hanya orang-orang beriman yang lebih siap menghadapi sehat maupun sakit, sukses maupun gagal. Dan hanya orang beriman yang memiliki kekuatan moril dalam meghadapi pujian (kemuliaan), bahkan penghinaan dan caci-maki sekalipun.
Jika syarat-syarat itu belum dimiliki oleh kita sebagai warganegara Indonesia, maka layak bagi kita untuk bermuhasabah dan bercermin diri: “Sudah seberapa kuat keimanan kita? Benarkah selama ini kita sudah ber-Islam dengan baik?”
Jadi, perkara kekuatan iman adalah perkara kecerdasan spiritual (rohani), yang memerlukan proses dan kesabaran, terlebih bagi orang-orang pedalaman Baduy untuk mencapainya. “Wahai, Rasulullah,” tanya sekelompok warga Baduy, “Sekarang kami sudah mengucap syahadat, salat, puasa, kirim-kirim gandum pada pemerintah, juga muter-muter di sekitar Kakbah. Itu berarti kami sudah beriman dong?”
Rasulullah paham orang-orang yang kualitas keislamannya masih diselimuti kepercayaan pada takhayul, azimat dan benda-benda pusaka (animisme). Maka, beliau menjawab dengan rileks tanpa menghakimi, “Sebenarnya kalian belum beriman dengan baik, tapi baru ber-Islam. Tetapi tenang saja, karena kebaikan apapun yang kalian usahakan, pasti akan dilihat dan dinilai baik oleh Allah.”
BACA JUGA: Hawa Nafsu dan Hasrat Ingin Berkuasa
Itulah kecermatan Rasulullah dalam menyampaikan misi ilahiyah. Beliau mampu menempatkan diri sesuai imajinasi lawan bicaranya. Bahkan, jika pun melihat seorang warga Baduy (Banten) tak mampu membayar toilet, lalu kencing di serambi masjid agung, mampukah kita berpikir universal untuk menghargai kemanusiaan, lalu dengan tenang dan sabar mempersilakan si Baduy untuk kencing di toilet rumah kita? Kalau perlu, sekaligus diajak ngobrol di sofa sambil dibuatkan teh manis dengan suguhan risol yang dicocol sambal kacang?
Sudahkah para ibu dan segenap istri-istri Indonesia meneladani jejak ketulusan Khadijah, yang sanggup memandang orang lain (liyan) sebagai sahabat-sahabat kemanusiaan (ukhuwah basyariyah)?
Ataukah keislaman kita baru sebatas ritual-ritual mahdlah, sementara kualitas keilmuan masih terlampau dangkal dan konservatif. Seakan-akan kita tak punya akses kepada Sunah Rasul, lalu mengarang-ngarang cerita seenaknya untuk membenarkan tingkah-laku kedengkian dan hawa nafsu primordial, yang masih melekat dan bersemayam dalam kalbu?
Kebanyakan kita lebih sibuk mengejar kesuksesan dan kemenangan materi ketimbang rohani, sambil mencari alibi dengan mencomot-comot dalil sekenanya. Padahal, di akhir zaman ini segala bentuk ilmu sudah terbuka, dan tingkah-laku manusia semakin mudah ditebak, apakah ia benar-benar tulus menyampaikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan? Ataukah hanya berpura-pura baik dan adil, demi meraih keuntungan dunawi bagi sanak famili dan kroni-kroninya semata? []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.