SEMUA ulama sepakat bahwa menikah adalah sunnah Rasulullah SAW, ada banyak hadist membicarakan tentang keutamaan menikah, seperti dilancarkan pintu rezeki, penyempurna agama, jalan mencari ketenangan, cara menjaga kemaluan dan lain sebagainya.
Menikah adalah keinginan setiap orang, selain untuk menyempurnakan separuh agama juga sebagai muara cinta yang bergelora dalam diri, terutama anak muda.
BACA JUGA: Hanya 2 Kali Bertemu, Ustaz Syam Islam Itu Indah Mantap Nikahi Jihan Salsabila
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah sAW bersabda,
“Saya belum pernah melihat (solusi) untuk dua orang yang saling jatuh cinta selain menikah.” (HR. Ibnu Majah).
Islam tidak melarang orang untuk jatuh cinta. Justru Islam memfasilitasi agar cinta itu menjadi suci, penuh pahala dan keberkahan dalam setiap aktivitasnya yaitu dengan menikah.
Dalam sebuah hadist yang sahih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW,
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa yang sudah mampu untuk menikah maka hendaklah dia segera menikah. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa dapat menahan dirinya dari ketergelinciran pada perbuatan zina.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).
Dalam hadist tersebut Rasulullah SAW memerintahkan kepada pemuda yang sudah mampu “ba’ah”untuk segera menikah. Lalu kapan seseorang disebut mampu untuk menikah?
Ulama membagi pengertian ba’ah menjadi dua,
Pertama, makna ba’ah secara bahasa yang berarti bersetubuh (jimak). Artinya siapa yang sudah mampu bersetubuh karena dia mampu menanggung bebannya (tanggung jawab pernikahan) maka hendaknya dia segera menikah. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mampu jimak karena, hendaknya dia berpuasa. Barang siapa yang mampu bersetubuh (jimak) karena sudah baligh, tetapi tidak mampu menanggung beban pernikahan, hendaknya ia berpuasa.
Kedua, makna dari ba’ah adalah beban pernikahan. Imam Nawawi menjelaskan arti dari ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yang berarti rumah. Secara gampang pengertian ba’ah di sini, ketika seseorang menikah maka ia telah menyiapkan rumah untuk istri dan anaknya, bisa dengan rumah kontrak, beli rumah, atau rumah yang selama ini ia tempati.
Kriteria mampu untuk menikah
Pertama: Mampu secara ilmu
Pernikahan adalah ibadah dan setiap ibadah ada ilmunya, sehingga seseorang yang akan menikah hendaknya telah mengerti ilmu-ilmu dalam pernikahan, lebih lagi laki-laki sebagai imam keluarga yang akan menuntun istri dan anak-anaknya.
Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu berkata,
“Ilmu adalah pemimpin amalan. Sedangkan amalan itu berada di belakang ilmu.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:137)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang membekali dirinya dengan ilmu, maka itu akan membuat lebih cepat mengantarkan kepada tujuan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:137)
Yang dimaksud di sini terlebih adalah ilmu agama, minimal ilmu dasar seperti akidah, shalat, puasa, zakat, dan muamalat. Seseorang yang akan menikah hendaknya sudah paham dan berusaha mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Kedua: Mampu bertanggung jawab
Tanggung jawab berkaitan dengan nafkah dan nafkah berkaitan dengan pekerjaan. Secara gampang, setiap orang yang akan menikah hendaknya sudah mempunyai pekerjaan sebagai jalan mencari rezeki untuk keluarga. Tidak harus menjadi pegawai negeri, tidak harus menjadi pengusaha yang sukses terlebih dulu, asalkan sudah ada pekerjaan dan pemasukan yang cukup, maka segerakan untuk menikah. Sebagaimana firman Allah berikut,
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32).
Ketiga: Mampu secara mental
Salah satu kemampuan yang penting dalam pernikahan adalah mental. Hal ini berkaitan dengan kedewasaan seseorang dalam menghadapi permasalahan. Sering kita dengar perkataan “banyak orang menua, tetapi tidak mendewasa”. Sifat kekanak-kanakan tentu saja hanya akan menjadi penyebab banyak masalah dalam rumah tangga. Pernah kami dengar penyebab perceraian hanya karena masalah cuci piring. Sangat miris ketika prosesi pernikahan yang begitu sakral yang disaksikan keluarga besar, saudara, tetangga, dan teman berakhir di tengah jalan hanya karena masalah sepele.
BACA JUGA: Inilah Kisah Khadijah sebelum Menikah dengan Nabi Muhammad
Sehingga kedewasaan seseorang dalam menghadapi permasalahan hendaknya sudah matang dan penuh kebijaksanaan, karena permasalahan keluarga ke depan lebih dari sekadar masalah cuci piring dan masalah remeh temeh lainnya.
Ketiga kriteria di atas, kami sebut dengan istilah telah selesai dengan dirinya sendiri, yaitu ketika seseorang akan menikah, hendaknya telah selesai dengan urusan-urusan ilmu dasar, keuangan, dan mental, sehingga ketika menikah tidak akan menjadi beban rumah tangga. []