ABANG panggilannya. Ketika mama Abang datang ke sekolah, sempat terbersit di pikiran saya “Bisa tidak ya menerima amanah ini?”
Tak selang berapa lama hati ini berkata, “Bismillah saja, inshaAllah pasti bisa.”
Abang masuk ke sekolah kami setelah mendapat rekomendasi seorang psikolog. Saya agak tersipu. Saya begitu tersanjung dengan rekomendasi tersebut. Sekolah kami tidak semewah sekolah swasta lain di kota itu. Sekolah yang amat sangat sederhana.
Di sekolahnya yang lama, Abang dituduh sebagai penghambat. Abang diberi label anak terlambat. Orang tua Abang dipanggil sang wali kelas yang mengatakan bahwa pihak sekolah tidak sanggup lagi diamanahi Abang. Guru teramat sangat kerepotan. Abang diputuskan harus meninggalkan sekolah. Padahal sekolah itu sekolah milik pemerintah.
Mendengar cerita mama Abang demikian, saya menyampaikan, “Abang kami terima disini, dengan syarat orang tua harus bekerja sama, bagaimana apakah bisa diterima syaratnya?”
“Baik bu, demi Abang, saya akan ikuti syarat ibu,” jawab Mama Abang.
Abang yang dinyatakan sebagai anak penghambat kelancaran belajar di sekolahnya dulu, alhamdulillah mampu berkembang dengan baik. Abang selalu mengingatkan teman akan aturan. Abang selalu memulai setiap kegiatan dan mengakhiri setiap kegiatan dengan do’a. Siapa bilang dia bodoh? Ternyata dengan memberikan program yang ia butuhkan Abang mampu berkembang.
Untuk membantu menaikan kemampuan menulisnya, kami bangun finemotornya. Merobek kertas, meremas kertas, menggunting, berbagai macam main sensori motor, memakai dan melepas pakaian, dan banyak kegiatan yang membangun kemampuan motorik halusnya.
Ketika guru menemukan sesuatu yang belum tepat dilakukan oleh anak dan melihat itu sebagai sebuah keterlambatan, maka akan lahir program yang bermutu untuk membantu anak. Namun jika ia yang dilihat itu dianggap sebagai sebuah kesalahan maka akan lahir hukuman.
Guru begitu mudah menghukum anak. Tanpa mengenal anak itu terlebih dahulu. Guru dengan mudah mencap anak bodoh. Jangan-jangan anak tersebut demikian karena belum bertemu dengan guru yang tepat. Maka dari itu, mari para guru kita introspeksi diri.
Sebelum menghakimi anak, kita evaluasi diri dulu, sejauh mana kita mengenal mereka. Apa yang harus guru perbaiki? mungkin metode mengajar yang belum tepat, media yang tidak menarik atau materi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak. Mari para guru, tetap semangat memperbaiki diri. []